Wednesday, December 17, 2008

Teman Seperjalanan

Pernah tidak Anda ketemu seorang complete stranger yang ternyata punya banyak kesamaan atau kebetulan dengan Anda? Dalam perjalanan dari lokasi kerja ke bandara Balikpapan beberapa waktu lalu, saya semobil seperjalanan dengan orang jenis ini :-)

Beliau ini, sebut saja Mas S - bersama temannya Mas F - adalah inspektor perwakilan Migas yang ditugaskan mensertifikasi instalasi-instalasi baru. Mereka hendak pulang juga setelah selesai menginspeksi platform yang kebetulan saya terlibat dalam proyeknya. Yang berikut ini adalah cuplikan percakapan kami (tentunya sudah disingkat dengan agak semena-mena dan disajikan tidak dengan pilihan kata yang 100% akurat).

Mas S: "Pulang ke Jakarta juga kan, Pak Bondan? Jakartanya mana?"

Saya: "Iya Mas, saya di Matraman."

Mas S: "Oh, dekat dong, saya di Utan Kayu. Btw sudah berkeluarga?"

Saya: "Sudah Mas, saya anak satu, Maret depan dia tiga tahun."

Mas S: "Oya? Sama dong, anak saya juga."

Saya: "Cowok apa cewek? Anakku cewek, Mas."

Mas S: "Yup, sama juga, Pak."

Sampai di sini akhirnya Mas F yang semula anteng, nimbrung ngobrol juga, tertarik dengan 'kekompakan' kami.

Mas F: "Pak Bondan ini asli mana?"

Saya: "Jogja Mas."

Mas F: (Mulai tertawa lepas) "Halaah, sama lagi, Si S ini juga Jogja lho, Pak."

Saya: "Oya? Jogjanya mana, Mas? Keluarga saya 20 tahun lebih di Mantrijeron, tapi belum lama ini ortu saya pindah ke daerah Pelemsewu, Bantul."

Mas S: "Lho, Mantrijeron tetangga juga, saya di Nagan." (dua wilayah yang disebutkan memang berbatasan)

Saya: "Weleh, kok serba kebetulan ya, hehehe. (Dalam hati: ini orang kok samaaaaa terus sih, what next?) Ngomong-ngomong soal Nagan, resepsi pernikahan saya dulu di sana lho."

Mas S: "Oyah? Di Sidomukti ya?" (yang disebutkan adalah gedung resepsi yang paling terkenal di kawasan Nagan)

Saya: "Oh, bukan kok Mas, saya di satunya. (Dalam hati: lega - Yeee, salaaah...) Di Suryopuri."

Mas S: (Dengan tetap kalem tanpa perubahan pada nada suara)"Ya itu tempat saya, punya ortu saya..."

Saya: (cleguk) "Oh, jadi waktu persiapan pernikahan 4 tahun lalu saya nego sama ibu pemilik gedung, berarti itu ibunya Sampeyan dong?"

Mas S: "Ya jelas, siapa lagi."

Mas F: (Terpingkal-pingkal)

Saya: ..spikles..

Friday, November 28, 2008

Patung Pancoran

Tebakan ini silakan ditujukan ke teman kita yang ngaku-ngaku orang Jakarta atau mengklaim dirinya ngerti Jakarta:

Patung Pancoran itu nunjuk ke arah mana, hayo...?

Jawabannya...

Nunjuk utara (ah, tapi jarang dhing yang ngerti utara-selatan). Mungkin mereka akan menjawab: nunjuk ke arah Manggarai!

Betul dong?
Salah! Hehehe...

Foto diambil dari www.provoke-online.com

Sejak kapan Patung Dirgantara (nama asli monumen itu) nunjuk-nunjuk? Sedari dulu (halah, Tompi banget) dia itu kan sedang ancang-ancang untuk terbang kayak Superman, tapi entah kenapa sampai kini belum bisa juga tinggal landas, hihihihi...

*kabur*

Monday, November 24, 2008

Met Ultah

Besok adalah hari jadi ke-8 dari stasiun televisi swasta spesialis berita, Metro TV. Tak dipungkiri sebelum TV One mengudara, pilihanku menonton acara televisi berkualitas sangat didominasi Metro TV (baca: acara berkualitas di luar siaran langsung olahraga, hahaha...). Bahkan sampai sekarang pun, stasiun TV ini tetap menjadi salah satu favoritku karena tidak tercemar sinetron.

So, selamat berhari jadi, Metro TV.

Semoga makin berkualitas dan tetap konsisten untuk turut mencerdaskan bangsa ini.

Jadi ingat slogan yang hari-hari terakhir ini sangat sering muncul: Metro TV's 8th Anniversary. Proud of our nation.

Well, I sincerely hope you can be proud of our language too, hihihi...

Saturday, November 08, 2008

Nelpon Gratis!

Seorang teman: "Bond, sekarang nelpon pakai Mentari gratis lho, sepanjang hari, ke semua operator!"

Aku : "Gandrik, asyik masyuk dong. Tarif promo bukan tuh?"

Teman: "Bukan! Ini berlaku selamanya!"

Aku: "Yang bener nih?"


Temanku yang super-duper iseng: "Bener! Haqqul yaqin! Nelponnya gratis tis tis. Tapi pas isi pulsanya ya tetep mbayar."

Aku: "Semprul..."

Tuesday, October 21, 2008

Bedanya

Apa bedanya rekrutmen PNS dengan pekerja swasta?

Di perusahaan swasta, si calon pekerja ditanyai: "Kamu mau dibayar berapa?"
Di rekrutmen PNS: "Kamu mau mbayar berapa?"

Wednesday, May 28, 2008

BBM (Barang-barang Bandrolnya Membumbung)

Wuihhh, lama juga aku gak posting di sini. Semangat (dan kesempatan) ngeblog memang sedang berada di titik nadir.

Ok, setelah lebih dari sebulan lalu aku nulis tentang politik, sekarang giliran harga BBM yang akan kusinggung-singgung. Ya, ya, ya, lagi-lagi tema serius yang membosankan, mohon dimaafken, hehehe...

Begini, menurutku, kenaikan ini adalah langkah yang mau tak mau diambil pemerintah. Okelah, mahasiswa dan the so called 'rakyat' boleh berbusa-busa berdemo di jalanan untuk menolak kebijakan ini. Namun pada kenyataannya jika pil pahit ini tidak ditelan sekarang, menahan harga dengan suntikan subsidi hanyalah seperti memberi obat penghilang rasa sakit. Efeknya hanya sementara, dan pada gilirannya the pain tetap akan dirasakan juga di masa datang.

Harus diakui, dampak kenaikan harga BBM akan segera (sudah dari bulan lalu, malah) menjalar ke berbagai barang dan jasa yang lain. Ini akan memberikan efek hantam yang berat terutama bagi saudara-saudara kita yang berada di level ekonomi bawah.

But you know what, efek hantam itu memang harus dihadapi. Seberat apapun. Ini merupakan pembelajaran bagi semua agar segera siuman dari bius subsidi yang memberatkan anggaran negara selama puluhan tahun, bahkan membuat kita terpaksa berutang terus, memberatkan anak cucu kita.

Dan menjadi kewajiban bagi yang lebih mampu untuk menyangga yang kurang. Sudahkah Anda membayar pajak Anda dengan benar? Untuk yang muslim, apakah Anda sudah menunaikan zakat Anda secara betul? Sungguh, zakat ini, bila ditunaikan dan kemudian dikelola serta disalurkan dengan tepat sasaran, efeknya bisa dahsyat.

Jadi, alih-alih melakukan anarki, wahai kawan-kawan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, ayolah mulai bangkit sekarang. Sadarlah, there's no turning back. Kita harus hadapi ini. Oya, dan siapa bisa menjamin harga ini tidak akan naik lagi dalam waktu dekat? Get ready, even for more punches...

Sunday, April 20, 2008

Partai-partai Dagelan, Dagelan Partai-partai

Nggak biasanya aku nulis tentang politik. Tapi sekali-sekali bolehlah karena memang yang lagi hangat adalah agenda persiapan Pemilu 2009: babak penyisihan partai-partai calon peserta Pemilu.

Aku nggak habis pikir mengapa begitu bejibun partai baru bermunculan. Apa memang aspirasi mereka ini benar-benar tidak terwakili partai-partai yang sudah ada (yang sudah banyak ini)? Atau jangan-jangan ini murni karena ambisi berkuasa (dan menangguk harta) semata? Apa karena ingin tampil saja, seperti segolongan dari peserta audisi Indonesian Idol yang tau persis kemampuan menyanyinya amburadul tapi tetap daftar dan datang audisi?


Bagi kami yang bukan politikus, semakin banyak partai adalah kabar buruk. Biaya yang ditanggung negara semakin besar. Dari mana dananya diambil? Ya dari kas negara, dana yang semestinya lebih berguna di sektor lain daripada dihabiskan untuk operasional partai dan biaya kampanye janji surga (serta hal-hal 'lain').

Aku sempat berpikir, kalau memang nanti banyak sekali partai yang lolos untuk Pemilu, bukan kertas suara lagi yang dicetak berjuta-juta itu. Tapi mungkin jadinya buku suara. Duitnya dari mana? Waduh ngeri, Pemilu jadi makin mahal saja :-(

Belum lagi dagelan partai-partai lama. Konflik internal terjadi di beberapa partai yang mestinya sudah mapan ini. Rebutan kepengurusan, beda tafsir AD/ART dan berbagai dagelan lain.

Muaranya sama: partainya pecah, terus jumlah partai bertambah juga akhirnya. Weleh-weleh. Duitnya dari mana?

Wahai Bapak-Ibu politikus partai di sana, bagaimana kami hendak mempercayakan negeri ini ke tangan Anda? Lha wong Anda ngurusi partai sendiri saja eker-ekeran.

Kapan ya negeri ini ditangani para negarawan sejati, bukan politikus-politikus terussss...

Wednesday, April 16, 2008

Safe Deposit Box: Membeli Rasa Aman

Setahunan terakhir, apalagi setelah rumah kontrakan kami sempat dimasuki tamu istimewa setinggi mata kaki tatkala tenggelamnya Jakarta Februari 2007 (versi yang punya kontrakan itulah kali pertama sepanjang sejarah rumah yang kami tempati itu kemasukan air banjir, well, I guess we weren't so lucky), saya dan istri bersepakat untuk menyewa sebuah Safe Deposit Box (SDB) di bank. Rencana itu akhirnya terlaksana beberapa minggu yang lalu.

Seberapa perlukah? Bagi kami yang tinggal di daerah cukup padat, plus hanya berjarak sekitar 20 meter dari keruhnya Ciliwung, paling tidak dua bahaya laten selalu mengintai: kebakaran dan banjir. Masih ditambah satu 'bahaya' lagi, yakni kenomadenan kami. Aktivitas pindahan rumah berpotensi juga mengundang masalah. Tak lupa, resiko klasik tindak kriminal juga tak boleh disepelekan.

Saya tidak sedang membicarakan berkilogram emas permata maupun berlembar bilyet deposito atau saham. Yang saya maksud di sini lebih ke surat-surat penting, sangat penting sehingga menjadi begitu berharga, seperti: ijazah terakhir berikut transkrip nilai atau surat-surat yang berkaitan dengan kontrak kerja dan surat-surat perjanjian bermaterai dan surat atau sertifikat kepemilikan kendaraan dan rumah/tanah. Khusus untuk kami, kebetulan ada juga BPKB motor butut, bilyet deposito yang tak seberapa :-) dan beberapa gram perhiasan mas kawin. Yang terakhir disebut nilai rupiahnya memang tidak wah, namun yang namanya mas kawin, tahu sendirilah betapa sakralnya bagi pasutri.

Gambar diambil dari link Wiki di atasSetelah memilih beberapa alternatif, kami putuskan membuka SDB di BNI. Di samping murah sewanya dan lokasinya yang dekat, kebetulan istri saya merupakan nasabah Taplus-nya. Tentu kami tak berminat membuka rekening di bank lain hanya untuk menyewa SDB di bank tersebut karena itu simply hanya akan menambah beban biaya maintenance (biaya 'administrasi') per bulan.

Syarat yang lain cukup mudah, cukup fotokopi KTP dan pas foto berwarna. Setelah surat kuasa SDB kepada saya ditandatangani istri, kami berdua masing-masing mendapat satu anak kunci. Ketika salah satu dari kami hendak membuka SDB, kami harus membawa identitas diri, kartu kunjungan dan pastinya anak kunci itu. SDB hanya bisa dibuka dengan dua kunci. Kunci satunya berada di tangan petugas bank (berupa master key). Saya rasa ini prosedur standar di berbagai bank.

Dengan 275 ribu rupiah (termasuk PPN) per tahun atau nggak sampai 25 ribu sebulan untuk ukuran SDB yang kami pilih, 'pembelian rasa aman' ini saya rasa tidak mahal. Kabarnya, BRI juga memberikan bandrol yang sama. Tanpa bermaksud promosi, harga di kedua bank plat merah ini sangat murah bila kita bandingkan dengan yang ditawarkan BCA (hampir dua kali lipatnya).

Ukuran SDB sendiri bervariasi, namun sudah standar. Silakan cek di website bank penyedia atau tanya saja ke CS-nya via telepon. Masing-masing punya harga sewa yang berbeda. Sesuaikan dengan kebutuhan Anda. Kalau berlian Anda sekarung, ya jangan hanya menyewa SDB ukuran paling kecil :-)

Last but not least, tidak perlu kaya raya untuk membutuhkan SDB. Nggak perlu minder berada di ruang pelayanan khusus (di BNI disebut layanan nasabah Prima - waktu kami di sana ada nasabah lain yang dengan santainya membicarakan deposito duit 'gede' dengan mbak CS-nya). Daripada kelimpungan nyari ijazah yang keselip entah di mana di lemari atau merasa was-was saat meninggalkan rumah terutama untuk waktu yang lama, saya anjurkan untuk menyimpan surat penting, perhiasan dan logam mulia di SDB bank Anda. Toh belum tentu setahun sekali Anda membutuhkannya.

Friday, April 11, 2008

Etiskah?

Beberapa jam yang lalu saya mendapat balasan imel dari seorang rekan di kantor. Bukan cuma saya, namun ada beberapa orang lain yang di-cc. Lalu lintas imel ini terjadi di dalam jaringan imel kantor dan berisi murni tentang pekerjaan.

Namun ada yang saya rasa kurang sedap dipandang di imel itu saat saya hampir selesai membacanya. Ada apa itu di bagian signature-nya?


Di baris paling bawah official signature beliau terpampang dengan bangga sebuah link internet. Dari nama website-nya, jelas situs itu berhubungan dengan investasi yang berbasis MLM, arisan berantai atau semacamnya (saya nggak yakin kalau sebutan 'investasi' sendiri tepat).

Benar, saat akhirnya saya tak mampu menahan godaan untuk mengkliknya, layar laptop saya segera menyajikan sebuah halaman yang intinya berisi iming-iming agar pembaca menyetor uang untuk kemudian mendapat uang lebih banyak sesuai 'level' si penyetor. Standarlah. Dan tentu saja, di halaman itu tertera nama rekan kantor saya tadi. Mungkin sebagai upline atau referal atau sejenisnya.

Menurut saya ini tidak pada tempatnya. Mungkin bisa dikategorikan spamming halus. Menjadi tidak tepat karena menggunakan sarana komunikasi perusahaan, apalagi dalam topik yang bersifat resmi dan profesional. Penyalahgunaan ini mirip-mirip dengan yang saya lakukan sekarang: ngeblog dengan komputer, bandwith dan waktu kantor, wakakaka...

Saya jadi berpikir, apa beliau ini men-default-kan signature-nya seperti itu tak peduli ke siapa ataukah hanya untuk orang-0rang tertentu saja (kebetulan saya baru pertama kali ini berkirim imel dengan beliau)? Hihihi, jadi ingat ketika saya sendiri pernah hampir menambahkan link ke blog ini di signature imel kantor lama...

Tuesday, April 08, 2008

Parkir Jalanan Gramedia Matraman

Setelah menjalani renovasi besar-besaran, beberapa bulan yang lalu Toko Buku Gramedia Matraman Jakarta dinobatkan menjadi toko buku terbesar di Asia Tenggara. Peresmiannya pun tak main-main: oleh RI-1, SBY, yang kebetulan waktu itu memanfaatkan momentum yang sama untuk peluncuran bukunya.

Sayang, kemegahan, kelengkapan dan kenyamanan toko ini tidak ditunjang dengan fasilitas parkir yang memadai. Foto berikut diambil suatu sore pada weekend lalu dari atas jembatan penyebarangan tepat di depan Gramedia Matraman.

Klik untuk memperbesar. Perhatikan bahwa tinggal dua jalur yang tersisa untuk pengguna jalan.Jelas terlihat bahwa lebih dari separuh jalan raya diserobot menjadi tempat parkir kendaraan para pegunjung toko. Terlepas dari sudah adanya (atau belum?) perizinan dari instansi terkait untuk 'penyalahgunaan' jalan ini, pengguna jalan jelas-jelas terganggu. Penyempitan di Jalan Matraman Raya yang tergolong jalan utama ibukota tak pelak membuat lalu lintas tersendat.

Mustinya, pengelola toko lebih memperhatikan ketersediaan ruang parkir saat melakukan renovasinya. Seingat saya, sebelum diresmikan kembali pun, jalan di depan Gramedia sudah sering termakan luberan parkir terutama saat waktu-waktu ramai pengunjung (meski belum sebanyak sekarang). Hal ini diperparah dengan hobi para sopir angkot dan bis kota mengetem di sana.

Sungguh tak masuk akal, ketika mereka membidik gelar termegah, menyiapkan lahan parkir yang mencukupi saja tidak becus.

Oya, penuh sesaknya parkir di tempat parkir 'yang benar' (basement toko), mau tak mau mengganggu fasilitas inti yang lain: musola. Lokasi musola yang nyempil di pojok parkiran motor terasa semakin sumpek dengan makin berjejalnya motor di sana seiring peningkatan jumlah pengunjung.

Inilah potret ironis 'toko buku terbesar di Asia Tenggara yang diresmikan oleh orang nomor satu Indonesia': tempat parkirnya terlalu kecil. Akibatnya, ia terpaksa menyerobot sarana umum. Potret ironis yang juga menggambarkan praktek manajemen gedung yang terlalu ngirit, kalau tak mau dibilang pelit.

Thursday, March 27, 2008

Undian Berhadiah: Kedok Penipuan yang Tetap Memakan Korban

Melongo juga aku tadi melihat berita di RCTI tentang seorang penjual bubur di Jawa Barat yang ditipu sebesar 25 juta rupiah oleh pihak yang berkedok panitia undian berhadiah sebuah produk deterjen. Niatnya, uang itu disetor sebagai 'pembayaran pajak hadiah' mobil senilai ratusan juta yang baru saja dimenangkannya. Yang membuat lebih parah, 25 jeti itu merupakan pinjaman dari tetangga, bukan uangnya sendiri. Miris.

Sudah berapa kali kita mendengar kasus penipuan serupa? Tak terhitung. Bahkan aku sendiri - dan aku yakin sebagian besar dari kita - sudah beberapa kali disasar para penipu tengik ini lewat sms bertema hadiah undian provider GSM.

Mengapa korban terus berjatuhan? Are we simply toooooo stupid?


http://media-jakarta.blogspot.com/2007/07/waspada-penipuan-undian-berhadiah.htmlTidak! Menurutku, justru kecerdasan tidak berpengaruh terlalu dominan di sini. Ada dua hal yang lebih menentukan. Pertama: emosi. Saat kita bereuforia jingkrak-jingkrak kegirangan karena menyangka telah memenangkan uang tunai 100 juta rupiah atau mobil Kijang Innova atau paket liburan ke Italia, sesungguhnya emosi kita tengah mendominasi dan membuat kecerdasan kita terpaksa pergi duluan berlibur ke Italia. Emosi telah menepikan akal sehat kita.

Faktor kedua adalah: pola pikir atau kalau orang Jawa bilang: mindset. Lebih spesifik: pola pikir konsumtif-materialistik dan pola pikir bahwa 'rezeki gampang' itu melimpah. Ia sewaktu-waktu bisa mengetuk pintu rumah kita tanpa disangka-sangka. Betapa mudahnya orang-orang di tivi itu mendapatkan uang jutaan rupiah dari kuis-kuis gak bermutu, dari undian sabun, dari undian tabungan bank, dari perusahaan seluler, dari sms berhadiah setelah mengetik REG spasi ID ten T (ID10T).

Faktanya, jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha dan berdoa SENDIRI. Untuk kaya, punya mobil mulus, atau berlibur ke tempat-tempat eksotik, kita sendirilah yang harus mengupayakannya, dari keringat kerja, bisnis dan investasi kita.

Singkirkan khayalan easy money itu. Insya Allah kita bisa menahan akal sehat kita pergi berlibur dan mencegah kita menjadi korban berikutnya dari beragam penipuan undian berhadiah ini.

Surat Mama Mira

Yth. Pemerintah,

Kami, atas nama Mama Mira (Masyarakat Penggemar Minuman Keras), dengan ini menyatakan niat kami untuk mengajukan gugatan class action kepada pihak Anda yang kami nilai telah gagal menjamin kualitas produk minuman keras kesukaan kami.

Jatuhnya puluhan korban di pihak kami akhir-akhir ini merupakan bukti nyata ketidakbecusan pihak Anda untuk memastikan bahwa minuman keras yang beredar di pasaran sesuai dengan standar mutu internasional serta persyaratan kesehatan dan agama.

Perlu diketahui bahwa minuman keras bagi kami adalah unsur ke-10 dalam kebutuhan sembako. Sungguh kami tidak bisa menerima bila pihak Anda, yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi produksi dan pemasarannya, tidak mampu menjalankan fungsi Anda secara maksimal yang pada gilirannya membahayakan kesehatan bahkan jiwa para anggota Mama Mira.

Demikian, kami mengharapkan adanya tindak lanjut sesegera mungkin dari Anda. Untuk sementara ini, dengan sangat berberat hati, kami akan menghentikan konsumsi minuman keras dan beralih ke produk yang meskipun lebih mahal namun untuk saat ini relatif lebih aman, yakni putauw.

Tertanda,
Tim Pembina Mama Mira Cabang Jambi

Monday, March 24, 2008

Gak Gaul

"Ayah nggak tau lagu band Pilot itu kan? Gak gaul ah, payah," sembur istri dan adik sepupuku. Mereka meledekku karena I had no idea lagu apa yang baru saja mereka dendangkan.

Hahaha, tak bisa dipungkiri, kalau memang tingkat kegaulan diukur dari pengetahuan lagu-lagu dan penyanyi/band terkini, jelas aku sama sekali nggak gaul. Jangankan yang terkini, yang tahun lalu aja masih ketinggalan. Andai 'Sing A song' mengaudisiku untuk menjadi pesertanya, aku pasti akan langsung gugur di soal pertama :-)

Gambar diambil dari suarapembaruan.comTerlepas dari 'gaul' apa tidak, aku merasa ada hal lain yang membuat semakin sulit mengikuti lajunya kereta musik tanah air: menjamurnya band dan penyanyi baru dengan, otomatis, lagu-lagu barunya yang bermunculan setiap hari. Pertanda bagus dong bagi kancah musik kita? Emmm, bisa iya, bisa tidak. Tidaknya kenapa?

Begini. Dalam percakapan tadi, istriku juga menyodorkan beberapa majalah yang berisi lirik-lirik lagu paling mutakhir dari berbagai musisi dalam negeri. Hampir semuanya aku 'merasa' belum pernah dengar. Setelah mereka menyanyikan bagian chorus dari beberapa lagu, aku baru manggut-manggut karena ada di antaranya yang sempat singgah di memoriku (karena klip promo mereka cukup sering mengganggu acara nonton TV). Ya, hanya 'sempat singgah'. Ini kata-kata kuncinya.

Dengan segala hormat bagi para musisi pendatang baru, aku kok merasa kalian tidak bisa memberikan kesan mendalam. Mengapa hanya singgah sesaat? Kok rasanya lagu-lagu (komplit: judul, tema, lirik), jenis musik, aransemen, warna vokal bahkan hingga penampilan (dan gilanya: wajah-wajah) kalian mirip-miriiiip semuanya.

Kuantitas kalian yang meledak tidak diimbangi dengan kualitas yang prima. Tidak ada ciri khas yang menonjol. Standar: temanya cinta ala ABG atau selingkuh, diiringi musik pop-rock ringan yang minim eksplorasi. Belum lagi nama-nama grup band kalian. Ada yang menerbangkan pesawat terbang, ada maskapainya, ada yang mirip merek snack kentang, sedangkan yang lain memakai kata-kata dalam Bahasa Inggris yang, maaf, agak norak.

Kreativitas musik kalian belum layak dibanggakan. Mirip nama-nama band kalian, yang kemungkinan besar akan segera tenggelam sebelum album kedua - kalau ada.

Hmmm, atau jangan-jangan akunya saja yang memang gak gaul.

Monday, March 10, 2008

Menikmati Menulis

Seusai mengirim posting kali ini, saya akan mengganti (lagi) judul blog saya. 'Menikmati menulis' agaknya cocok untuk diangkat sebagai nyawa blog ini.

Saat pertama kali memulai blog ini awal tahun 2005 lalu, motivasi saya adalah (dan sampai saat ini, selalu) untuk menikmati proses menulis itu sendiri. Untuk menjaga kebisaan saya yang tidak seberapa ini dari ketumpulan dan terutama kepunahan. Untuk mencatat pemikiran dan kisah-kisah agar bisa saya nikmati dan tertawakan ketika saya membacanya kembali di masa yang akan datang.

Menurut saya, adanya komentar pembaca - adanya pembaca, malah - adalah bonus. Efek samping. Jika seseorang merasa tulisan saya bermanfaat, menginspirasi atau menghibur, I'll be very happy. Jika tidak? Sejatinya, proses menulis: meracik kata, memilih gambar ilustrasi, menyunting, lalu membaca ulang, sampai mengklik tombol 'publish post', kemudian membaca ulang (lagi), menyunting ulang dan seterusnya, bagi saya, adalah inti kenikmatannya.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda menikmati kegiatan menulis Anda?

Thursday, March 06, 2008

Perusahaan Low Profile

Tahun ini, perusahaan tempat saya bekerja merayakan 40 tahun keberadaannya di Indonesia. Dalam 'gambar tema' seperti yang terlihat berikut ini, tulisan "40 years of journey with strong and continuous commitment" tampak menghiasi.

Sayangnya, paling tidak yang saya rasakan, kurun waktu empat dasawarsa dan triliunan rupiah ke kas negara tiap tahunnya tidak membuat perusahaan ini cukup dikenal. Saya merasa ia memang kurang berusaha menampilkan dan memperkenalkan eksistensinya di tanah air.


Terlalu low profile? Mungkin. Bahkan beberapa tahun setelah logo-logo Shell dan Petronas meramaikan Jakarta dan sekitarnya, baru di tahun 2008 perusahaan ini akan turut menampakkan diri di tengah pandangan mata masyarakat lewat SPBU-nya.

Setahunan yang lalu, saat ExxonMobil sudah lebih dulu menampilkan iklan branding-nya (itu lho, yang di antaranya menonjolkan bahwa mereka terdiri atas 95% putra terbaik bangsa), saya berpikir bahwa perusahaan yang menggaji saya memang tertinggal dari segi promosi.

Kurang dikenal dan kurang akrab di tengah khalayak - perkecualian untuk Balikpapan, kota yang memang 'rumahnya'. Itu yang saya alami sendiri saat berusaha menjelaskan bidang usaha perusahaan ini ke teman, saudara atau tetangga yang menanyakan.

Sering sekali, kalau tidak hampir semua yang bertanya, menyangka saya bekerja di perusahaan yang bergerak di konstruksi sipil (inilah resiko nama 'pasaran'). Ah, mungkin tulisan di gambar itu perlu ditambahi sedikit: "40 years of journey with strong and continuous commitment but obscure reputation"...

Sunday, March 02, 2008

Berapa Bunganya?

Sebuah obrolan di dunia maya bersama seorang teman lama belum lama ini membawa kami sekilas pada topik kartu kredit. Saat saya menyebutkan penerbit satu-satunya kartu kredit yang saya punyai, spontan teman saya menyahut, "Berapa bunganya?"

Sebenarnya ini pertanyaan yang lumrah saja kan? Wajar dong, kalau kita ingin tahu suku bunga utang suatu produk kartu kredit? Sekedar menggali info untuk membandingkannya dengan produk lain kan bolah-boleh saja?

Mmmm, memang wajar sih. Lumrah-lumrah saja. Namun, menurut saya, menjadikannya sebagai pertanyaan pembuka merupakan sinyal bahaya.


Grafis diambil dari www.abcnews.go.comDi mana letak bahayanya?
Saat seseorang spontan bertanya tentang bunga sebuah kartu kredit, sangat mungkin ada kecenderungan bahwa dia akan 'membolehkan' atau 'memaklumi' jika dirinya tidak membayar sebelum tenggat yang ditetapkan. Ada sikap mental yang seolah permisif terhadap menumpuk utang dengan bunga selangit ala kartu kredit. Secara tidak sadar dia telah mengindikasikan bahwa di masa datang cukup besar kemungkinan baginya menunggak tagihan.

Saya rasa sikap inilah yang mestinya kita benahi. Saya berpendapat bahwa kartu kredit adalah salah satu alternatif cara pembayaran yang penggunaan dan pelunasan tagihannya harus selalu dikontrol dengan disiplin ekstra agar kita tidak sampai terimbas bunga sama sekali. Ia memang pintu berbagai kepraktisan dan fasilitas, namun saya tegaskan bahwa sekuat tenaga kita harus PASTIKAN bahwa jeratan bunga tidak mencekik leher kita.

Saya berpendapat bahwa 'limit kredit' yang dipunyai sebuah kartu tidaklah terlalu relevan untuk kita cermati. Yang harus kita jaga adalah disiplin untuk selalu membatasi diri kita dalam pemakaiannya. Kita perlu menetapkan 'limit kredit' untuk diri sendiri, misalnya: maksimum sepertiga dari pendapatan bulanan.

Sampai di sini Anda mestinya sudah bisa menebak arah tulisan saya. Ya, dari tadi memang saya hanya mencari pembenaran atas keteledoran saya, yang sampai saat saya mengetik baris ini, benar-benar lupa berapa sebenarnya bunga utang kartu kredit saya, hahahaha...

Saya tidak bercanda, sesungguhnya buat apa kita peduli berapa bunga kartu kredit kita kalau sejak saat pertama kali mengajukan permohonan kepemilikannya, kita sudah tahu persis manfaat dan bahayanya? Apakah Anda perlu menanyakan seberapa parah kemungkinan Anda terluka saat seorang teman menceritakan seperangkat pisau dapur baru miliknya?

Jangan Antri di Bank Capek Antri

Tulisan ini kutujukan terutama untuk mengurangi ke-bete-an seorang rekan saya seperti yang tercermin di blognya. Tidak untuk membela bank itu lho, Put, apalagi mempromosikannya, tapi hanya untuk memperkaya wacana saja. Juga memperluas cakupan pilihan kita murni karena kemanfaatan yang kita sebagai konsumen bisa optimalkan: tidak melulu fanatisme buta, suka atau benci terhadap suatu produk (untuk yang satu ini aku sendiri sampai sekarang masih punya satu penyakit: benci henpon Nokia hanya karena sudah banyak yang pakai, hehehe... alasan yang memang kurang masuk di akal).

Aku membuka rekening Bank Capek Antri sekitar pertengahan atau akhir 2004 (lupa tepatnya, euy). Oya, disklemar-klemer: tulisan ini valid hanya bila Bank Capek Antri yang dimaksud Putie dalam tulisannya sama dengan apa yang ada di pikiranku sekarang. Kayaknya sih sama :-)

Lanjut. Waktu itu alasanku simpel saja: aku baru pindah ke Jakarta untuk bekerja dan menetap di sana. Di sekitar kantor, kos dan 'tempat-tempat jajahanku' ATM bank inilah yang pating tlecek (kalau nggak tahu apa itu 'pating tlecek', silahkan buka Kamus Indonesia-Prancis). Teman-teman, berbagai instansi dan merchant, dan banyak orang yang kukenal menggunakan rekening bank ini. Demi kemudahan transaksi-transaksiku, akhirnya kuputuskan untuk memindah rekening tempat gajiku mampir (hanya mampir, karena tiap bulan tak banyak yang bisa kusisihkan, but that's another story). Yap, pilihanku: Bank Capek Antri.

Belakangan, setelah aku menikah dan ekonomi mulai sedikit tertata (juga kebutuhan semakin terpilah-pilah), munculah keperluan untuk rekening 'simpanan yang sebenarnya': rekening tempat dana darurat disimpan. Pilihanku jatuh pada sebuah bank syariah - ini di samping karena alasan 'ketentraman hati', juga tetap ada faktor kepraktisan: kartu ATM bank syariah itu bisa berfungsi juga sebagai kartu ATM/debit di tempat-tempat berlogo Bank Capek Antri.

Semenjak hari itu hingga detik ini, rekening Bank Capek Antri-ku murni berfungsi sebagai 'dashboard', panel operasi, untuk menerima dana dan pendistribusiannya ke pos-pos yang lain. Ciri khasnya: seminggu atau beberapa hari menjelang gajian, saldoku di Bank Capek Antri hampir pasti kurang dari 500 ribu rupiah :-)

Terus mengenai biaya-biaya transfer via teller yang mahal? Charge tambahan untuk pencetakan rekening koran di atas sebulan yang lalu? Kudu antri lama karena selalu berhubungan dengan Bank Capek Antri?

Justru di sinilah triknya: alih-alih selalu capek ati dan buang-buang waktu antri, ya sekalian aja buka rekening di sana. If you can't beat them, join them (ndak tau nih quote siapa).

Optimalkan manfaat internet banking dan mobile banking-nya. Dashboard-mu (ponsel dan komputermu) akan memudahkanmu bertransaksi tanpa harus antri. Bahkan ke ATM pun cukup sesekali saja untuk kebutuhan cash (yang tentu semakin berkurang karena banyak transaksi sudah ditekel di dunia maya atau menggunakan kartu debit dan kartu kredit).

Untuk menyimpan sejarah transaksi, print atau save saja dari situs klik Bank Capek Antri secara rutin setiap bulan dalam bentuk Excel (nggak antri kok, mau di rumah jam 11 malem juga bisa). Transfer antar-bank dalam negeri juga bisa dari sana, cukup dengan biaya lima ribu rupiah untuk non-real-time (kata customer service-nya sih sekitar 2-3 hari baru sampai, kalau yang real-time biayanya 20 ribu, cukup mahal bagiku untuk transfer di bawah 5 juta). Untuk bank-bank yang sudah bekerja sama ATM-nya dengan Bank Capek Antri, kita bisa transfer dengan ponsel saja dan pasti real-time dengan biaya 5 ribu rupiah.

Akhir-akhir ini pemerintah mendengung-dengungkan slogan 'Ayo ke bank'. Untuk kita yang tinggal di kota besar dan sangat mungkin terjebak dalam antrian panjang teller bank - bahkan antrian ATM, aku rasa sungguh tepat untuk mengelaborasikannya menjadi: ayo ke bank untuk mengaktifkan mobile, phone dan internet banking. Setelah itu? Yah, mungkin dua tahun sekali saja ke bank kalau sedang kangen dengan rasanya antri atau pengen kenalan sama mbak-mbak teller...

Monday, February 25, 2008

ORI = Obligasi Riba Indonesia?

Mulai hari ini, ORI (Obligasi Ritel Indonesia) 004 resmi ditawarkan kepada khalayak. Surat utang negara versi eceran ini dibandrol dengan kupon atau bunga tahunan 9.5 % (subject to 20 % tax). Namanya juga eceran, masyarakat dapat memilikinya cukup dengan dana minimal lima juta rupiah saja.

Dengan riba, eh bunga, yang menarik - menurut perkiraan ngawur saya sekitar 2 % di atas bagi hasil rata-rata tahunan deposito syariah - investasi di ORI ini memang lumayan menggiurkan. Apalagi ORI punya versatilitas dapat diperdagangkan di bursa, yang artinya menjanjikan juga capital gain bagi pemiliknya (dengan catatan ketika dijual harganya naik dibanding saat belinya lho ya).

Bagi Anda yang muslim, seperti saya, kerutan di dahi sangat mungkin segera timbul. Pertanyaan normalnya: yang begini ini kira-kira halal apa riba ya?

Saya tidak akan (lebih tepatnya: tidak berwenang) menghukuminya untuk Anda. Saya cenderung main safe saja untuk saya sendiri. Dengan keuntungan yang sangat mirip dengan bunga bank konvensional (berupa bunga yang persentasinya sudah ditentukan di awal), jelas-jelas ORI 'berbau' riba. Dan kalau yang berbau riba ini benar riba, berarti kita memakan riba dari negara alias mengambil untung dari uang rakyat. Menurut saya, itu semakin 'menakutkan'. Karenanya, untuk sementara ini, instrumen investasi yang super-aman dan dijamin pembayaran bunganya oleh pemerintah tapi belum tentu dijamin kehalalannya ini sebaiknya saya hindari dulu...

Disklemar-klemer: Tulisan yang tumben agak berat ini sebenarnya ditujukan untuk mencari pencerahan lebih lanjut tentang kehalalan ORI. Mohon pendapatnya, ya. Oya, satu lagi, saya bukan ahli di bidang investasi maupun fikih, jadi mohon untuk mericek ke referensi-referensi lainnya.

Sunday, February 24, 2008

Hikmah di Balik Tragedi

Sedih pasti. Tapi rasa lega ternyata membumbui juga perasaanku saat malam itu, 15 Februari 2008 jam 20.30, adik iparku mengabarkan meninggalnya bapak mertua via telepon. Istriku menangis meraung beberapa saat. Tapi kami lalu berhenti meratap dan menguatkan hati bahwa hidup kudu jalan terus dan kita harus ambil hikmah sebesar-besarnya dari peristiwa ini.

Penderitaan dan kesakitan beliau selama kurang lebih dua setengah tahun ini berakhir sudah.
Multiple myeloma yang divoniskan kepada beliau akhirnya memang menjadi pemenang. Kanker ganas yang menyerang plasma sel sumsum tulang itu diketahui telah menjalari dan merusak habis ginjal beliau semenjak hampir setahun lalu. Di Amerika, rata-rata waktu bertahan pasien setelah didiagnosis kanker yang satu ini adalah tiga tahun.

Rasa sedih semakin terkikis juga saat mendengar cerita ibu mertuaku. Beliau yang hampir 'kecolongan' karena sempat keluar rumah sebentar akhirnya bisa mendampingi suaminya di saat-saat terakhir dan sukses menuntunnya membaca takbir hingga nafas yang pungkasan. Kelelahan mengurus suami sepulangnya mengajar (ibu mertuaku seorang guru SD) dan waktu istirahat yang praktis habis karena tak pernah tidur cukup rasanya terbayar dengan tenangnya kepergian Bapak. Semoga inilah 'akhir yang baik' yang sering dibicarakan orang.
Makam Bapak menjelang selesai diurug

Sungguh berkat kemurahan Allah semata ini terjadi saat aku sedang liburan di Jakarta, tidak ketika aku sedang berada in the middle of nowhere di ujung Mahakam. Keberadaanku bersama anak istri jelas memudahkan pengaturan perjalanan kami ke Jogja dan sebagainya.

Bagiku pribadi jelas sekarang aku menjadi lebih tenang saat berangkat tugas lapangan, jauh dari keluarga. Rasa deg-degan waktu mendengar dering henpon pasti akan berkurang juga. Apalagi ada seorang adik sepupu yang baru diterima kerja di Jakarta yang akan tinggal bersama kami dan turut menemani anak istriku.

Bagi istri, ibu mertua dan adik iparku? Semoga kehilangan ini justru membuat mereka lebih tabah dan kuat menghadapi masa depan. Lembaran naskah cerita yang baru telah dibuka-Nya untuk mereka. Tentunya dengan suntingan yang terbaik.

Selamat jalan, Bapak.

Friday, February 15, 2008

Bosan

Aku akan mendefinisikan bosan secara semena-mena dan untuk jangka waktu yang sangat temporer:

Bosan adalah melihat dan mendengar slogan 'Imlek Bersama, Indonesia Bersatu' secara terus-menerus selama hampir sebulan terakhir di salah satu televisi swasta kita. I mean c'mon, kok kayaknya niat banget sih bermerah-merah kemandarin-mandarinan? Ada apa sebenarnya di balik sloganmu itu? Misi apa (atau misi siapa) yang kamu bawa?

Agak aneh kedengarannya. Hampir seaneh gaya Mike Mohede di sebuah iklan ketika bilang "Ayo, pake Fren!" Hihihi...

Monday, February 04, 2008

Mahasiswa, mahasiswa...

Melihat siaran berita sore di salah satu televisi swasta beberapa hari yang lalu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Di satu segmen nampak gedung sekolah renta yang roboh menimpa siswa-siswi SD di dalamnya. Di segmen lain, tersorot kamera beberapa orang mahasiswa (atau preman? Who knows, makin tipis saja rasanya perbedaannya) tengah dengan antusias menghancurkan kaca-kaca jendela kampusnya menggunakan balok kayu. Aktivitas hancur-hancuran itu terjadi di sebuah universitas di kota Medan (Universitas Nonsen or something gitu namanya).

Mengapa ya aksi-aksi mahasiswa semakin ogah berpisah dengan pengrusakan (rasanya belum terlalu lama terjadi bentrok mahasiswa di Makassar)? Mustinya kan kalian itu sadar bahwa sepak terjang kalian diamati segenap bangsa ini? Mustinya kan kalian turut memelihara fasilitas kampus kalian yang notabene jauh lebih layak dibanding ribuan bangunan-bangunan reyot SD di seantero negeri ini, bukannya meremukredamkannya? Mustinya kan kalian menjadi pelopor kritik yang membangun, bukan menjadi penikmat protes yang merusak? Mustinya kan kalian... ah, sudahlah, semoga masih banyak di antara kalian yang lebih memilih menjadi mahasiswa yang sesungguhnya: mengisi bangku kuliah dengan semangat untuk berprestasi, bukan beranarki.

Sungguh memalukan.

Monday, January 21, 2008

Solat Ajaib (3)

Kategori ajaib yang ketiga jatuh kepada para penggemar invasi.

Cirinya? Yang paling khas adalah sesaat sebelum sujud. Pas mau menurunkan badan dari i'tidal ke sujud, mereka akan memundurkan dulu kakinya, masuk ke area sujud saf di belakangnya. Ada yang sedikit, tapi ada juga yang senang menjajah sampai 20 cm bahkan lebih.

Di tempat solat yang jarak antargaris saf-nya pas-pasan, jelas ini akan membuat orang di belakang mereka sangat menderita. Bagaimana tidak, ia terpaksa melengkungkan punggungnya dengan sudut yang akut supaya tempat yang tersisa cukup untuknya bersujud. Masih ditambah satu bonus: kalau kalah dulu bangkit dari sujud, kepalanya akan terinjak the invader yang hendak berdiri - atau minimal rambutnya yang terinjak kalau tidak memakai tutup kepala.

Ada juga jenis invader yang menyamping. Rakaat demi rakaat dia senang memperlebar jarak kakinya - kadang dia menggabungkan kebiasaannya dengan keajaiban lain, yakni menginjak. Jenis invader ini tidak peduli apakah sesama makmum di sebelahnya akan tergencet saat sujud atau tidak, sama seperti ketidakpedulian invader yang saya sebutkan di atas akan kesusahan jamaah di belakangnya.

Bila kita menemui para invader ini saat solat berjamaah, hendaknya kita bersabar dan jangan malah ikut-ikutan :-)

Sunday, January 20, 2008

Refleksi Perjalanan Menuju Delta Mahakam (2-habis)

...sambungan dari sini

Setelah perjuangan yang tidak mudah, sekitar Maghrib, sampai juga aku di mess tamu yang terletak dalam kompleks pabrik pupuk itu. Beberapa wajah familiar, yakni teman-teman seperjuangan di kampus, segera menyambut. Di samping, tentunya, seratusan wajah lain yang belum kukenal.

Herannya, saat mengecek telepon genggam, ada missed call dari kantor tempatku tadi diwawancarai. Hmmm, secepat itukah mereka memutuskan? Oya, gilanya, aku baru tahu 'gambaran' jenis usaha kantor itu setelah di-interview. Itupun masih gambaran nggrambyang: engineering company di bidang migas - whatever that is.

Paginya, di sela-sela jadwal berbagai tes yang harus kali lalui (tertulis, wawancara, bahkan fisik), aku segera mengecek. Dan benar, mereka meloloskanku ke tahap medical check-up (MCU), yang konon kata banyak orang sekedar 'formalitas' saja kecuali kandidat mengidap sakit berat.

Sempat terjadi dilema juga, bagaimana ya kalau nanti di pabrik pupuk ini aku lolos juga? Ini murni karena ketidaktahuanku tentang prospek kerja di sebuah engineering company. Ditambah lagi, idealisme bahwa Sarjana Teknik Kimia ya seharusnya menerapkan ilmunya di pabrik kimia masih kental meliputi benakku.

Tapi seperti sudah digariskan, pilihanku jadi sangat mudah karena aku gagal di seleksi pabrik pupuk. Sebaliknya, aku dinyatakan lolos dari MCU oleh si engineering company itu dan ditawari gaji hampir satu setengah kali lipat apa yang kuancar-ancarkan saat wawancara - dan lebih dari dua kali lipat dari entry level salary di pabrik pupuk 'idaman' tadi. Deal or no deal? It was a no brainer: DEAL!

Guess what, di perusahaan engineering itu ternyata aku hepi - pekerjaan cocok, rekan-rekan kantor sangat friendly dan suasana kerja tidak membuat stres. Kantor itu jugalah yang akhirnya menjadi tempatku mencari nafkah sampai akhirnya aku menikah dan dianugerahi seorang putri.

Days go by, tak terasa sudah dua tahun lebih aku 'belajar' di sana. Ada mitos di perusahaan engineering bahwa seorang engineer sudah dinyatakan 'lulus' saat ia diminati oleh dan lalu pindah ke 'klien'. Klien di sini adalah oil and gas company - yang notabene memakai jasa perusahaan engineering dalam proyek-proyeknya. Benar saja, tak sampai dua hari setelah aku mengakikahkan anakku, ada informasi dari seorang 'alumni' kantorku yang sudah duluan 'lulus' bahwa dia sedang mencari seorang junior process engineer. Setelah CV-ku terbang ke sana, sore hari itu juga recruiter segera meneleponku untuk menjadwalkan tes wawancara - di sinilah aku menjadi yakin bahwa istilah 'rezeki anak' itu sama sekali bukan omong kosong.

Setelah melalui berkali-kali wawancara dalam kurun waktu hampir tiga bulan - coba tebak berapa interview yang harus kujalani - akhirnya tawaran gaji kuterima dan resmilah aku 'lulus'. Mau mengecek tebakannya? Believe it or not, aku diwawancarai oleh sebelas orang berbeda dalam sembilan sesi - dua sesi di antaranya di Balikpapan! Hahaha, kebalikan dari kantor sebelumnya, di sini ternyata keputusan merekrut orang bisa amat sangat berbelit.

September 2006 menjadi lembaran baru kehidupanku. Aku kini bekerja di sebuah perusahaan eksplorasi dan produksi migas yang sumber gasnya (minyaknya tinggal sedikit sekali) terkonsentrasi di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Alhamdulilah, dari sisi kesejahteraan dan pengembangan karyawan, perusahaanku kini jauh lebih baik dari yang pertama.

Refleksiku berakhir di sini. Saat aku meretas jalan ke 'pabrik kimia yang ideal', ternyata Tuhan mempertemukanku dengan jalur yang lain. Is this what they call serendipity?

Friday, January 18, 2008

Solat Ajaib (2)

Keajaiban solat berikutnya adalah para penganut sistem 'solat yang mengalir bagai air' - thanks to my buddy OQ Akbar untuk istilah ini :-) 'Mengalir' karena tanpa jeda, bahkan i'tidal dan duduk di antara dua sujudnya bisa dibilang sudah tidak terlihat.

Ciri khas mereka adalah high-speed. Untuk koneksi internet, tentu ini bagus, tapi untuk solat?

Seorang teman yang lain pernah berujar, "Mereka ini mbaca apa to ya, kok bisa cepet banget begitu?"

Kadang aku iseng coba-coba mengikuti mereka. Misalnya ada masbuk atau jamaah yang baru datang belakangan dan aku sudah selesai solat (kurang gawean, Ndan, bukannya konsen dzikir malah jelalatan ngeliatin orang lain). Ketika di rokaat pertama terlihat 'aliran air' itu, aku akan mencoba membatin Al-Fatihah berbarengan dengan saat dia bangkit dari sujudnya. Aku usahakan membacanya secepat yang aku bisa. Pada banyak kesempatan, ternyata, tetap saja sebelum aku kelar dia sudah rukuk duluan.

Akhirnya, memang, pertanyaanku kawanku tadi seharusnya diubah menjadi: "Mereka ini TIDAK mbaca apa to ya, kok bisa cepet banget begitu?" :-)

Refleksi Perjalanan Menuju Delta Mahakam (1)

Terlepas dari jadwal rotasi yang panjang, dus waktu berjauhan dengan keluarga yang lama pula, seperti kukeluhkan sebelumnya, sungguh banyak yang harus aku syukuri di tempat kerjaku sekarang. Dan dalam perjalananku ke sini, ternyata, berbagai hal yang berbau 'kebetulan' banyak menyertai.

Cerita bermula empat setengah tahun yang lalu, di masa pencarian kerja selepas lulus dari kawah candradimuka perkuliahan. Dengan kalapnya, berpuluh surat lamaran aku sebar ke berbagai penjuru. Sesuai bidang ilmuku, sebuah tujuan ideal bernama 'pabrik kimia' menjadi target utama. Salah satunya adalah pabrik pupuk pelat merah di timur Jakarta.

Saat dipanggil tes tahap pertama, dalam perjalanan dengan bus, aku ditelepon oleh seorang recruiter dari perusahaan yang akhirnya 'memperjakai ke-fresh-graduate-anku'. Suaranya di telepon tak jelas, bahkan aku lupa apa aku pernah melamar ke mereka (maklum, saking banyaknya surat lamaran yang kukirim via email). Aku cuma bilang, "Can you please call me back or send me an email, I can barely hear you."

Dan aku tetap berkonsentrasi menembus tes pertama pabrik ini (apalagi setelah lima bulan sebelumnya gagal terus di kancah persaingan memburu kerja, tekanan semakin terasa), melupakan si penelepon misterius tadi.

Oke, singkat cerita, tes pertama lolos. Tes berikutnya adalah seleksi maraton selama empat hari di tempat yang sama beberapa minggu kemudian.

Sang recruiter misterius dari perusahaan antah-berantah kembali menelepon, dia menanyakan kapan aku bisa ke Jakarta untuk interview. Kuputuskan untuk mendekatkannya dengan jadwal tesku di pabrik pupuk, biar sekali jalan.

Aku ingat waktu itu aku berangkat dengan KA ekonomi (seperti biasa) menuju Stasiun Pasar Senen. Foto diambil dari id.wikipedia.orgSenin jam 4 subuh aku sudah tiba di Senen. Jadwal wawancara adalah jam 2 siang. Hahaha, jadi ingat waktu aku leyeh-leyeh di musola stasiun bersama para pengamen menunggu siang. Yap, mandinya di stasiun juga :-)

Saat akhirnya tiba di kantor yang kucari - I was an hour early - Pak Tukang Ojek bertanya, "Kerja di sini, Mas?" Mungkin dia heran melihat seseorang bertampang ndeso membawa tas besar yang diantarnya dari stasiun kelas dua ternyata bertujuan sebuah gedung yang lumayan bagus. "Belum, baru mau tes," jawabku.

Seorang Bapak Security di pos penjagaan juga sempat heran melihat barang bawaanku, "Dari kampung ya?" tegurnya sinis. Jujur, aku mangkel mendengar ucapan itu.

Kita skip saja bagian interview, standarlah itu. Setelah keluar dari kantor itu, segera kucari warung kakilima untuk sekedar bertanya rute ke Terminal Pulogadung dan mengganti sepatu 'kantoran'-ku dengan sandal yang lebih nyaman untuk berperjalanan. Journey to 'karantina di Karawang' baru akan dimulai.


Solat Ajaib (1)

Solat Isya semalam menyandingkanku dengan sesama makmum yang cukup ajaib. Bila biasanya aku akan berusaha semampunya dan sewajarnya untuk dapat menempelkan tumitku ke tumit makmum di sebelahku, maka tadi malam aku dibuat kalang kabut menghindari serangannya yang agresif!
Grafis diambil dari www.its.ac.id
Bagaimana tidak, alih-alih menempelkan tumit, dia sepertinya beraliran garis keras 'menginjak'. Bukan bagian belakang kaki, tapi dia menggunakan jari kakinya untuk menginjak kaki makmum di sebelahnya (arah kakinya tidak lurus ke depan, tapi membuka & melebar). Aku sih biasanya tidak berkeberatan dengan hal ini, tapi yang semalam itu benar-benar ajaib.

Tidak cukup dengan menginjak lalu puas, dia menggerak-gerakkan dengan kuat kaki dan badannya - aku heran kenapa ya dia nggak berhenti bergoyang - sehingga injakannya terasa sakit dan sangat tidak nyaman di tepi kakiku :-(

Wah, ancur deh. Solatku yang masih jauh dari khusyuk ini semalam benar-benar makin jauh lagi dari kekhusyukan yang didamba-dambakan.

Sunday, January 13, 2008

Sepakbola Versus Mabuk

Apakah menurut Anda kemajuan sepakbola di kota Anda dapat mengurangi penyakit masyarakat khususnya 'dua bersaudara': kekerasan dan miras? Kalau iya jawabannya, maka Anda sependapat dengan seorang pendukung Sriwijaya FC seperti terkutip di sini (bila tautannya tidak berfungsi, silakan perbesar gambar berikut).

Oalah, Mas, apa ya ndak terlalu mahal harga yang harus rakyat bayar (lewat APBD) bila hanya untuk membuat orang tertarik menggeluti sepakbola lalu 'mengurangi' hobinya berkelahi dan mabuk-mabukan (saya masih nggak habis pikir bahwa ada banyak orang yang actually hobinya berkelahi dan mabuk)? Seberapa signifikankah penurunan jumlah penggemar 'hobi-hobi' nyleneh itu? Bukankah justru sepakbola kita masih sangat identik dengan 'berkelahi' itu sendiri? Bukankah sebenarnya klub tidak akan terlalu besar pasak daripada tiang jika mau meminimalisasi jumlah pemain asingnya (ya, meminimalisasi, bukan seperti yang terjadi sekarang: berapa pun batas maksimalnya, segitu pula yang dikontrak dan digaji dengan uang rakyat)? Bukankah menekan - atau menghilangkan sama sekali - sumbangan APBD di klub akan menjadi lebih 'adil' bagi rakyat dan membuat klub menjadi lebih profesional? Ingat, tidak semua orang menggemari, bahkan peduli, pada sepakbola.

Ah, jangan-jangan hanya sayanya saja, yang sudah bosan dengan mahalnya sepakbola Indonesia yang belum juga beranjak ke mana-mana itu.

Updated: Selamat buat Sriwijaya FC yang tadi malam merebut Copa Indonesia lewat drama adu penalti atas Persipura Jayapura. Kalau begini, jangan-jangan uang seabreg masyarakat Palembang untuk klub memang sebanding? Oya, perayaaan kemenangannya jangan dibumbui mabuk-mabukan dan perkelahian ya? :-)

Friday, January 11, 2008

Cute Animals

Nyambung tulisan sebelumnya, sebenarnya ada bonus tambahan ketika kita berada di lapangan, terutama daerah pedalaman: kesempatan bertatap muka dengan binatang-binatang eksotik!

Ya, di site yang sebelumnya, kami sempat akrab dengan beberapa spesies kera dan kepiting yang berwarna-warni. Terus, beberapa jam yang lalu kami sempat melihat seorang petugas kebersihan sedang 'bergelut' untuk menangkap seekor teman kecil seperti foto di bawah ini.

Awas Mas, ati-ati bisanya nyembur...
Hampi berhasil ketangkep

Sayang, momen saat leher Si Kobra cantik ini sedang mengembang tidak terjepret HP-ku. Memang sih ini masih 'anak-anak', tapi tetap saja desisannya membuat kami keder. Moga aja induknya nggak balas dendam masuk ke ruang kerja atau kamarku yang hanya beberapa belas meter saja dari situ...

Now I Know

Warning: tulisan ini sangat kental beraliran Curhatisme.

Membuka-buka arsip tulisan lama mengantarkanku pada posting yang
ini. Mungkin memang sudah jalanku, yang menceburkan diri di bidang migas, bahwa cepat atau lambat aku akan mengalami masa-masa kurang lebih seperti yang kutulis waktu itu.

Saat menulis ini, aku sedang berada pada rotasiku yang keempat. Sistem kerjanya adalah empat minggu 'on' - empat minggu 'off' (well, karena ada overlap dengan back-to-back kita, dalam prakteknya jadwal berubah menjadi 30 hari masuk-26 hari libur; belum lagi kalau ada training, dsb). Rencananya, aku ditempatkan di sini sementara saja, yakni untuk nyantrik di departemen yang namanya 'Commissioning' - ndak perlu dijelaskan panjang lebar binatang apa ini, intinya dia adalah bagian divisi proyek yang bertugas memeriksa kesiapan instalasi baru sebelum diserahkan ke Divisi Operations. Setelah ini (mungkin tiga bulan lagi), teorinya, aku akan balik kandang berkantor di Jakarta.

Teorinya? Well, you never know what the boss really plans for us, right? Bisa saja karena kebutuhan manpower di departemen ini, aku akan dilapangankan lebih lama. Setahun lagi, dua tahun lagi, siapa tahu?

Di lapangan, berarti ada kenaikan gaji dan tetek bengek tunjangan lainnya kan? Tentu saja. Kalau enggak, semua orang nanti minta kerja kantoran saja :-) Dan setelah mencobanya sendiri - menjalani empat rotasi, sepertinya preferensiku makin jelas terlihat ke arah mana. Surprise, surprise, sama seperti kesimpulanku di tulisan yang dulu.

Berdekatan dengan keluarga (Bahasa Rusianya = nyandhing), ternyata, tetap lebih menenangkan hati. Apalagi ketika kita baru punya satu anak, yang sedang lucu-lucunya pula...

Sunday, January 06, 2008

[Flash Fiction] Terima Kasih, Pak Sopir...

“Iya, sebentar,” bergegas aku lari ke pintu depan. Ternyata Pak Sopir yang tadi mengantar kami pulang dari bandara.

“Maaf, Pak, ini tadi ketinggalan di jok belakang. Sepertinya penting sekali,” katanya sambil mengangsurkan sebuah sim card ponsel. Peluh membasahi dahi dan bajunya. Nafasnya sedikit terengah. Maklum, rumah kontrakan kami memang masuk lumayan jauh dalam gang. Apalagi dia juga pasti lari-lari supaya gerimis yang sedang turun tidak terlalu membasahi pakaiannya. Masih ditambah lagi koper bawaan kami sekeluarga yang tadi turut diangkatnya lumayan banyak. Mungkin AC di taksi belum cukup meredakan gerahnya sejak setengah jam yang lalu.

Belum sempat aku membuka mulutku, dia bergegas pamit,

“Ok, Pak, saya langsung saja, sudah ditunggu penumpang lain,” ujarnya sambil tersenyum dan kembali berlari ke arah jalan raya.

“Y..ya, Pak, makasih banyak ya. Hati-hati di jalan,” jawabku setengah berteriak.

Bersungut-sungut, kuamati barang mungil itu di telapak tanganku. Ah, seandainya sim card bekas ini kemarin langsung kubuang saja, tidak pakai acara disimpan-simpan segala di dompetku.

“Semoga Allah melancarkan tugas dan rezekimu, Pak Sopir,” bisikku sambil menutup pintu.

...terinspirasi pengalaman pribadi...

Wednesday, January 02, 2008

Belajar Berhitung

Peringatan: posting ini gak penting alias sekedar iseng aja.



Ok, Anda telah diperingatkan namun memutuskan untuk terus membaca. Baiklah.

Lihat di sini
Catatan redaksi Okezone tentang tahun baru (moga-moga link-nya idup, p.s. tanpa disengaja jadi agak nyambung sama posting sebelumnya ya :-p).
Maka Anda akan menemukan ini:


Klik untuk memperbesar

Setelah saya hitung, dan saya hitung ulang, sepertinya yang bener empat negara kan ya?

Tapi bagaimana lagi, mungkin tekanan deadline membuat sang redaktur kurang berkonsentrasi ketika menulis artikel itu.

Oya, satu lagi, dia mungkin kurang suka ya dengan Australia, sampai namanya diplesetkan seperti itu... Hehehehe...

Tuesday, January 01, 2008

Time to Burn Some Money

"Tau nggak, Yah, Pak RT kita kemarin belanja kembang api buat tahun baruan habis 800 ribu lho," begitu cerocos istriku di telepon semalam.

Nggak usah jauh-jauh ke Monas atawa Ancol, di lingkungan RT-ku sendiri, 'membakar uang' dalam jumlah tak sedikit di pesta pora tahun baru ternyata adalah hal yang lumrah. Masih mendingan dibelikan makanan kan? (Yeaahh, akan mendingan lagi kalau uang itu disumbangkan ke korban banjir, dsb, dst, but we're no angels, right?)

Pasti sudah banyak posting, tulisan, artikel tentang hal ini. Dan dari tahun ke tahun, gugatan tentang kebiasaan 'buang-buang uang untuk hura-hura malam tahun baru' pasti akan selalu terulang. Apakah memang kitanya yang ndableg (maaf, pakai Bahasa Jerman) atau kurang bernurani atau sudah sedemikian butuhkah kita akan pesta tahun baru ini? Sudah sedemikian wajibkah hiburan 'bakar-bakaran' itu bagi kita?

Akhirnya, selamat tahun baru bagi yang merayakannya.