Friday, September 23, 2005

Gila Bola

Seperti kebanyakan pria, aku suka sepakbola. Aku suka bermain sepakbola, menonton pertandingannya - di stadion atau lewat TV, mengikuti berita dan perkembangannya, bahkan memainkan game-game komputer, online maupun standalone, yang bertema sepakbola. Belum sampai pada taraf 'penggila' sih - aku hanya bangun jam 2 dini hari untuk siaran langsung match yang benar-benar 'penting', macam babak akhir Liga Champions Eropa atau putaran final Piala Dunia.

Beberapa kawan 'penggila' bola begadang 2-3 kali seminggu menonton siaran langsung liga-liga reguler Eropa, sementara 'penggila' yang lain mengikuti kelompok-kelompok supporter tim lokal kesayangannya berlaga, kandang maupun tandang, bernyayi riang sepanjang pertandingan mendukung bintang-bintang pujaannya. Ada lagi yang bermain cukup sering, minimal 2 kali seminggu. Yang ini lebih positif - dan tentu jauh lebih baik untuk kesehatan daripada sekedar begadang.

Lalu, kalau yang merusak fasilitas umum, termasuk stadion timnya sendiri, menggangu ketertiban, bahkan membegal, memalak, merampok, menodong dan menjarah pedagang kaki lima? Bukan. Mereka bukan penggila bola. Mereka hanyalah preman-preman tengik yang mencari kesempatan menyalurkan hobinya. Hobi yang jelas tidak berkaitan dengan sepakbola, namun mengatasnamakan sepakbola. Menunggangi even-evennya. Dan pada akhirnya merusak nama sepakbola itu sendiri.

Mereka adalah penyakit, seperti hanya flu burung atau para wewe minyak di Lawe-Lawe, yang musti diberangus untuk mengurangi borok negeri ini. Caranya, tentu saja, akan berbeda. Preman-preman disikat di jalur hukum, flu burung supaya diperangi dengan metode medis-veterinaris (don't mind the weird word, I just invented it ;-p) dan wewe minyak Pertamina biarlah diuber Tim Pemburu Hantu (toh selama ini mereka memang senang menangkapi setan).

Thursday, September 15, 2005

Widuri

Tiga minggu yang lalu aku berkesempatan mengunjungi sebuah platform lepas pantai (offshore) dalam rangka site survey sebuah project. Klien kami sebuah oil company asal Cina. Mereka mengelola beberapa blok pengeboran di lepas pantai utara Jakarta. For the first time in my life I saw the 'real thing' dan yang membuatnya spesial adalah karena platform itu terletak in the middle of nowhere, di laut, 4.5 jam perjalanan by boat dari Tanjung Priok. Lokasi yang kami tuju populer dengan nama 'Widuri'.


Image hosted by Photobucket.com
Widuri Papa di pagi hari. Foto-foto lain bisa disimak di sini.


Selama 1.5 tahun lebih, aku hanya duduk manis di depan monitor PC-ku, merancang dan menghitung ini dan itu, tapi belum tahu exposure lapangan yang sebenarnya. Dan pengalaman 3 minggu yang lalu itu jelas sangat berharga.

Berangkat jam 7 pagi dari Jakarta, sebelum tengah hari kami tiba di sebuah tanker raksasa, tempat produksi dari puluhan oil well di sekitarnya ditampung sementara sebelum diambil oleh kapal-kapal lain. Juga tempat tinggal ratusan pekerja. Namanya 'Widuri Terminal'.

Sore harinya kami pindah ke platform tempat processing minyak dan gas sebelum dialirkan ke Widuri Terminal. Nama tempatnya Widuri Process Platform, atau lebih sering mereka sebut 'Widuri Papa' atau lebih singkat lagi hanya 'Proses'. Memang di sanalah data-data yang kami butuhkan berada. Kami tinggal selama empat malam di sebuah living quarter bernama 'Seafox' yang dihubungkan dengan semacam jembatan ke Proses. Quite a lot of people live there too, lebih dari 50 orang.


Image hosted by Photobucket.com
Ini yang namanya Seafox. Those windows belong to the cabins.


Well, I'm not really good at expositional story telling nor I'm intending to do so. Jadi narasi di atas hanyalah gambaran pembuka saja. What I'm gonna tell you here is betapa memang bekerja di offshore itu - bisa - sangat membosankan, terlepas dari - bisa - sangat berbahaya, tentunya.

Duluuu, semasa masih kuliah, aku sempat berpikir bahwa sepertinya bekerja di offshore itu menyenangkan. I mean, menyenangkan karena gajinya ;-) Belum lagi semua fasilitasnya. Gak usah mikirin makan, minum, cucian, etc. Semua dijamin. Kamar pun full AC & ada room service, telepon & internet free, hahaha. Bahkan sampai sesaat sebelum kunjungan ke Widuri lalu, aku masih menyimpan ketertarikan yang sama. Turned out to be... tidak seindah itu. Maksudku, penghasilan & fasilitas memang se-oke yang kubayangkan, namun ternyata banyak hal yang tak bisa dibeli dengan semua itu.

Oke, mereka tidak tinggal di sana all the time. Ada yang seminggu on, seminggu off, ada yang dua mingguan, dsb. Tapi pas di sananya itu lho... Feels like forever! You see nothing but... nothing! Boring abis! Belum lagi ketika kamu kangen dengan orang-orang yang kamu sayangi. Ini yang berat. Temanku bilang: ketika di sana, waktu serasa berhenti.

Aku jadi maklum kemudian melihat beberapa teman yang nggak tahan kerja berlama-lama di tempat-tempat seperti itu (including onshore remote areas). Bahwa ternyata a lot of things in life just can't be bought. Bahwa ternyata berondongan pertanyaanku ke mereka: "Ngapain sih kamu resign? Gaji segede itu apa masih kurang?" tidak terlalu valid.

Aman. Nyaman. Dan akhirnya: tentram. Meskipun saldo tabungan naiknya perlahan-lahan banget, I now realized bekerja di kantor (atau dimana pun, asal bisa dekat dengan keluarga, teman, etc.) jelas lebih enak. Eitss, don't get me wrong, to some people, bekerja di remote areas justru lebih cocok. Jadi, mungkin ini masalah selera atau personality. Maybe. Absolutely not mine, though.