Wednesday, August 24, 2005

Merdeka

Waktu Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan negara ini 60 tahun yang lalu, mungkin memang hanya satu kata ini yang memenuhi benak mereka: merdeka. Sekarang, enam dasawarsa telah lewat, tampuk kepemimpinan telah berkali berganti, apakah kita memang sudah merdeka?

Image hosted by Photobucket.com

Sebagai bangsa yang sudah tidak belia lagi, sungguh kita layak malu dengan berbagai atribut jelek yang tersemat pada diri kita sampai sekarang. Bangsa yang tidak disiplin, korup, terbelakang, tak bisa mengelola kekayaannya yang melimpah ruah dan banyak lagi.
Kita bangsa yang kaya minyak, tapi nyatanya saat harga minyak melambung, justru kita yang kepayahan. Kita bangsa yang mengaku berbudaya adi luhur, tapi nyatanya korupsi, kemalasan, jam karet dan sejenisnya justru menjadi budaya sehari-hari. Kita menjadi begitu bergantung pada belas kasihan bangsa lain, bahkan menjadi robot dan mesin uang bagsa lain padahal kita hidup di bumi - dan laut - yang tak tertandingi potensinya. Apakah kita memang sudah merdeka?

17 Agustus jangan-jangan hanyalah sebuah rutinitas. Tahun lalu ada panjat pinang, tahun ini tidak. Tahun lalu RT 5 menang tarik tambang, tahun ini RT 2 yang menang, dan seterusnya. Ia hanyalah tanggal yang dimeriahkan. Ketika bendera-bendera dikibarkan. Ketika seminggu sebelumnya gapura kampung dicat ulang dan seminggu sesudahnya diadakan pangung hiburan di halaman kelurahan. Jangan-jangan itu saja.

17 Agustus hanyalah perayaan yang superfisial. Anestesi sejenak dari berbagai rasa sakit bangsa yang kronis. Sialnya, anestesi ini ternyata memerlukan dana (dan tentu saja waktu, tenaga dan pikiran) yang tidak sedikit, yang jelas akan lebih bermanfaat bila diarahkan ke area lain. Anestesi yang satu ini, bahkan juga dibumbui dengan pencurian listrik demi memenuhi kehingar-bingarannya. Apakah kita memang sudah merdeka?

Meskipin demikian, tentu saja kita tidak boleh berhenti hanya sampai termenung dan merenung. Berhenti sembari mengutuki nasib jelek bangsa ini (dibilang nasib pun sebenarnya tidak pas karena kita semua juga yang salah). Kita harus memulai memperbaikinya. Dari diri sendiri, dari yang sederhana sampai akhirnya menyeluruh ke semua sendi kehidupan.

Pelan-pelan kita pasti bisa berbenah. Dari stop buang sampah sembarangan, lebih sering tepat waktu, berhenti menilep uang yang bukan milik kita (apalagi milik rakyat), sampai mengerem gontok-gontokan berebut kekuasaan, entah pilkades, pilkada atau pemilu. Pasti bisa kita lakukan kalau kita mencontoh semangat ikhlas para pejuang kita dahulu. Yang hanya satu kata saja yang mendasari pengorbanannya: merdeka.

Lalu sekarang, apakah kita memang sudah merdeka? Jangan-jangan seperti perayaannya, kita baru merdeka di permukaan saja.

Tuesday, August 16, 2005

Come To Papa

Hmmm, 7.5 bulan bukan waktu yang lama kan? Karena insya Allah sekitar 7.5 bulan lagi, I'm going to be a daddy. Belum lama setelah dag-dig-dug mau married, sekarang aku sudah dilanda dag-dig-dug lagi. Yang ini bahkan lebih dahsyat.

Image hosted by Photobucket.com

Lucu juga tuh pic di atas, yang aku cuplikkan dari Forum Blogfam. Begitu aku kabari istriku hamil, kucing dan anjing langsung muncul di bawah postingku, hahaha... Thanks buat Mbak Retno dan Mbak Juju (dan semua my bro and sis di Blogfam) yang sudah menyelamati, mendoakan dan menyemangati kami. It means a lot. It does.