Wednesday, March 18, 2009

Perlukah Mencantumkan Zakat di SPT Pajak?

Well, it’s that time of the year. Batas akhir pelaporan SPT tahun pajak 2008 semakin dekat. Yap, akhir bulan ini – kecuali Anda sedang mood membayar denda :-)

Bagi karyawan berpenghasilan tunggal dari satu pemberi kerja seperti saya, pengisian SPT sesungguhnya tidaklah terlalu njlimet. Apalagi saya beruntung: bagian HR di kantor tempat saya mburuh sangat berbaik hati untuk mengisikan form 1770 S para pegawainya. Jadi kami tinggal melengkapi sedikit lampiran II-nya – itu lho yang berisi daftar harta dan utang kita di akhir tahun (yang disebut belakangan seringkali jumlahnya lebih besar, hihihi...).

Sampai di sini, kalau Anda nggak mudheng babar blas apa yang saya bicarakan, then you’re really scr*wed. Hehehe, gak dhing. Silakan stop dulu lalu baca-bacalah artikel dan referensi pembelajaran pajak yang berserak di dunia maya – bahasa halusnya: RTFM (read the fu... errr I mean, the fine manuals). Atau bertanyalah ke kawan Anda yang cukup melek pajak. Jangan sampai hari gini Anda masih buta pajak.

Ok, siap lanjut membaca? Sekarang masuk ke pencantuman zakat (tentu bagi wajib pajak muslim) dalam SPT. Apa gunanya?

Usut punya usut, setelah berkonsultasi dengan seorang rekan yang melotot pajak (udah bukan level melek lagi sih dia. Please waive your hand if you’re there, Bung Aditya of Kebumen), saya berpendapat: untuk kasus saya, pencantuman zakat dalam SPT adalah ‘kurang bermanfaat’ – kalau tidak mau dibilang tidak bermanfaat sama sekali. Nah lo?

Begini, masuknya zakat dalam formulir 1770 S kan sebenarnya berefek mengurangi pendapatan kena pajak (PKP). Silakan simak kropingan lembar 1770 S berikut:Klik untuk memperbesar

Artinya kalau pajak kita sudah dipotongkan dari gaji oleh kantor dan kemudian kita masih menzakatinya lagi, mustinya akan ada kelebihan pembayaran pajak dong? Betul. Lebih bayarnya bisa direstitusi alias diminta lagi dong? Ternyata tidak!

Monggo dipelajari penjelasan Angka 17 di halaman 23 dari Petunjuk Pengisisan 1770 S (donlotnya di link ini). Untuk singkatnya, saya kutipkan saja dari sana: “Permohonan [maksudnya permohonan restitusi] tidak berlaku apabila kelebihan bayar berasal dari PPh yang ditanggung pemerintah dan zakat.

Nah, cukup jelas bahwa meskipun setelah memperhitungkan zakat, SPT kita akhirnya lebih bayar sekian rupiah (i.e. tidak berkesudahan ‘Nihil’), there’s not much we can do about it kecuali berbangga hati telah menjadi warga negara yang berbagi penghasilan lebih dari yang seharusnya :-)

Sialnya, selentingan yang beredar malah menciutkan nyali: pelapor SPT lebih bayar akan diinvestigasi ‘secara mendalam’ alias diobok-obok oleh penyelidik dari Kantor Pajak. Hiiii... Gimana nih? Semoga isu ini tidak benar.

Seorang rekan berkata, “Zakat kan mustinya tulus ikhlas. Kalau sudah ikhlas, ngapain masih kita kulik-kulik di formulir SPT pajak kita? Apa mau diminta lagi?” Nah, kalau yang ini mungkin ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, seorang wajib pajak (WP) muslim yang lebih percaya kepada lembaga zakat daripada pengelola pajak (no hard feelings, my fellow bureaucrats...) akan lebih bersemangat berzakat dengan adanya fasilitas ini i.e. yang menggolongkan zakat sebagai komponen pengurang PKP. Catatan: ini berlaku untuk WP muslim yang memiliki penghasilan di luar penghasilan yang sudah final/dipotongkan pajaknya.

Bagaimana? Mumet? Anda pikir saya tidak?

Kasih contoh ajalah: Berbeda dengan saya, kawan saya, sebut saja namanya Bunga (halah, kayak nama samaran korban perkosaan di berita kriminal) adalah seorang karyawati yang nyambi jualan (a.k.a punya toko). Nah, bagi Bunga yang taat bayar zakat dan taat pula bayar pajak ini (a.k.a orang bijak), fitur perhitungan zakat sangat bermanfaat saat pelaporan SPT.

Gajinya sudah dipotong pajak oleh tempatnya bekerja, ok, itu jelas. Namun, penghasilan dari tokonya (yang konon jauh lebih besar dari gajinya sebagai karyawati itu) kan belum dipajaki? Nah, this is where zakat comes into the equation. Di mana masuknya? Ya seperti yang terlihat di cuplikan gambar di atas tadi – dia akan mengurangi PKP Mbak Bunga dan pada gilirannya mengurangi pajak terutangnya.

Terus, bukti Bunga sudah berzakat sekian-sekian apa? Ini pertanyaan penting. Bunga harus menyalurkan zakatnya kepada amil zakat yang diakui oleh pemerintah (sampai saat saya menulis ini, belum nemu juga daftarnya, mohon maaf – ada yang bisa membantu?). Lembaga itu akan memberi Bunga kuitansi penerimaan zakat atas nama Bunga dan ini harus dilampirkannya saat melaporkan SPT.

Ini saya ada contohnya (terima kasih buat Mbak Ayu di RZI Cabang Jatinegara yang sudah mencetaknya):Klik untuk memperbesar
Jumlah zakat tentu saya tutupi supaya Anda tidak minder, hihihihi, guyon lho ;-) You see, ada keterangan di situ menyebutkan bahwa kuitansi itu bisa digunakan sebagai pengurang PKP.

Di sini saya harus membuat ending tulisan ini (OMG, panjang juga postingan saya, maybe I should’ve split it into two posts...). Enaknya bagaimana ya...

Gini aja, sebuah kesimpulan: jika Anda adalah seorang WP muslim yang rajin berzakat dan semua penghasilan Anda sudah dipotongkan pajaknya oleh pemberi kerja, sesungguhnya memperhitungkan zakat dalam SPT Anda tidaklah akan banyak berguna. Paling-paling SPT Anda akan lebih bayar dan kemudian Anda bisa bergaya: “Gue dooong, bayar pajaknya lebih...” Hence, if you’re not really into bragging anyway, biarkan saja zakat Anda hanya Anda dan Tuhan (dan para Mbak Ayu) yang tahu and just be content with perpetual ‘NIHIL’ in your annual tax report form :-)