Thursday, March 27, 2008

Undian Berhadiah: Kedok Penipuan yang Tetap Memakan Korban

Melongo juga aku tadi melihat berita di RCTI tentang seorang penjual bubur di Jawa Barat yang ditipu sebesar 25 juta rupiah oleh pihak yang berkedok panitia undian berhadiah sebuah produk deterjen. Niatnya, uang itu disetor sebagai 'pembayaran pajak hadiah' mobil senilai ratusan juta yang baru saja dimenangkannya. Yang membuat lebih parah, 25 jeti itu merupakan pinjaman dari tetangga, bukan uangnya sendiri. Miris.

Sudah berapa kali kita mendengar kasus penipuan serupa? Tak terhitung. Bahkan aku sendiri - dan aku yakin sebagian besar dari kita - sudah beberapa kali disasar para penipu tengik ini lewat sms bertema hadiah undian provider GSM.

Mengapa korban terus berjatuhan? Are we simply toooooo stupid?


http://media-jakarta.blogspot.com/2007/07/waspada-penipuan-undian-berhadiah.htmlTidak! Menurutku, justru kecerdasan tidak berpengaruh terlalu dominan di sini. Ada dua hal yang lebih menentukan. Pertama: emosi. Saat kita bereuforia jingkrak-jingkrak kegirangan karena menyangka telah memenangkan uang tunai 100 juta rupiah atau mobil Kijang Innova atau paket liburan ke Italia, sesungguhnya emosi kita tengah mendominasi dan membuat kecerdasan kita terpaksa pergi duluan berlibur ke Italia. Emosi telah menepikan akal sehat kita.

Faktor kedua adalah: pola pikir atau kalau orang Jawa bilang: mindset. Lebih spesifik: pola pikir konsumtif-materialistik dan pola pikir bahwa 'rezeki gampang' itu melimpah. Ia sewaktu-waktu bisa mengetuk pintu rumah kita tanpa disangka-sangka. Betapa mudahnya orang-orang di tivi itu mendapatkan uang jutaan rupiah dari kuis-kuis gak bermutu, dari undian sabun, dari undian tabungan bank, dari perusahaan seluler, dari sms berhadiah setelah mengetik REG spasi ID ten T (ID10T).

Faktanya, jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha dan berdoa SENDIRI. Untuk kaya, punya mobil mulus, atau berlibur ke tempat-tempat eksotik, kita sendirilah yang harus mengupayakannya, dari keringat kerja, bisnis dan investasi kita.

Singkirkan khayalan easy money itu. Insya Allah kita bisa menahan akal sehat kita pergi berlibur dan mencegah kita menjadi korban berikutnya dari beragam penipuan undian berhadiah ini.

Surat Mama Mira

Yth. Pemerintah,

Kami, atas nama Mama Mira (Masyarakat Penggemar Minuman Keras), dengan ini menyatakan niat kami untuk mengajukan gugatan class action kepada pihak Anda yang kami nilai telah gagal menjamin kualitas produk minuman keras kesukaan kami.

Jatuhnya puluhan korban di pihak kami akhir-akhir ini merupakan bukti nyata ketidakbecusan pihak Anda untuk memastikan bahwa minuman keras yang beredar di pasaran sesuai dengan standar mutu internasional serta persyaratan kesehatan dan agama.

Perlu diketahui bahwa minuman keras bagi kami adalah unsur ke-10 dalam kebutuhan sembako. Sungguh kami tidak bisa menerima bila pihak Anda, yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi produksi dan pemasarannya, tidak mampu menjalankan fungsi Anda secara maksimal yang pada gilirannya membahayakan kesehatan bahkan jiwa para anggota Mama Mira.

Demikian, kami mengharapkan adanya tindak lanjut sesegera mungkin dari Anda. Untuk sementara ini, dengan sangat berberat hati, kami akan menghentikan konsumsi minuman keras dan beralih ke produk yang meskipun lebih mahal namun untuk saat ini relatif lebih aman, yakni putauw.

Tertanda,
Tim Pembina Mama Mira Cabang Jambi

Monday, March 24, 2008

Gak Gaul

"Ayah nggak tau lagu band Pilot itu kan? Gak gaul ah, payah," sembur istri dan adik sepupuku. Mereka meledekku karena I had no idea lagu apa yang baru saja mereka dendangkan.

Hahaha, tak bisa dipungkiri, kalau memang tingkat kegaulan diukur dari pengetahuan lagu-lagu dan penyanyi/band terkini, jelas aku sama sekali nggak gaul. Jangankan yang terkini, yang tahun lalu aja masih ketinggalan. Andai 'Sing A song' mengaudisiku untuk menjadi pesertanya, aku pasti akan langsung gugur di soal pertama :-)

Gambar diambil dari suarapembaruan.comTerlepas dari 'gaul' apa tidak, aku merasa ada hal lain yang membuat semakin sulit mengikuti lajunya kereta musik tanah air: menjamurnya band dan penyanyi baru dengan, otomatis, lagu-lagu barunya yang bermunculan setiap hari. Pertanda bagus dong bagi kancah musik kita? Emmm, bisa iya, bisa tidak. Tidaknya kenapa?

Begini. Dalam percakapan tadi, istriku juga menyodorkan beberapa majalah yang berisi lirik-lirik lagu paling mutakhir dari berbagai musisi dalam negeri. Hampir semuanya aku 'merasa' belum pernah dengar. Setelah mereka menyanyikan bagian chorus dari beberapa lagu, aku baru manggut-manggut karena ada di antaranya yang sempat singgah di memoriku (karena klip promo mereka cukup sering mengganggu acara nonton TV). Ya, hanya 'sempat singgah'. Ini kata-kata kuncinya.

Dengan segala hormat bagi para musisi pendatang baru, aku kok merasa kalian tidak bisa memberikan kesan mendalam. Mengapa hanya singgah sesaat? Kok rasanya lagu-lagu (komplit: judul, tema, lirik), jenis musik, aransemen, warna vokal bahkan hingga penampilan (dan gilanya: wajah-wajah) kalian mirip-miriiiip semuanya.

Kuantitas kalian yang meledak tidak diimbangi dengan kualitas yang prima. Tidak ada ciri khas yang menonjol. Standar: temanya cinta ala ABG atau selingkuh, diiringi musik pop-rock ringan yang minim eksplorasi. Belum lagi nama-nama grup band kalian. Ada yang menerbangkan pesawat terbang, ada maskapainya, ada yang mirip merek snack kentang, sedangkan yang lain memakai kata-kata dalam Bahasa Inggris yang, maaf, agak norak.

Kreativitas musik kalian belum layak dibanggakan. Mirip nama-nama band kalian, yang kemungkinan besar akan segera tenggelam sebelum album kedua - kalau ada.

Hmmm, atau jangan-jangan akunya saja yang memang gak gaul.

Monday, March 10, 2008

Menikmati Menulis

Seusai mengirim posting kali ini, saya akan mengganti (lagi) judul blog saya. 'Menikmati menulis' agaknya cocok untuk diangkat sebagai nyawa blog ini.

Saat pertama kali memulai blog ini awal tahun 2005 lalu, motivasi saya adalah (dan sampai saat ini, selalu) untuk menikmati proses menulis itu sendiri. Untuk menjaga kebisaan saya yang tidak seberapa ini dari ketumpulan dan terutama kepunahan. Untuk mencatat pemikiran dan kisah-kisah agar bisa saya nikmati dan tertawakan ketika saya membacanya kembali di masa yang akan datang.

Menurut saya, adanya komentar pembaca - adanya pembaca, malah - adalah bonus. Efek samping. Jika seseorang merasa tulisan saya bermanfaat, menginspirasi atau menghibur, I'll be very happy. Jika tidak? Sejatinya, proses menulis: meracik kata, memilih gambar ilustrasi, menyunting, lalu membaca ulang, sampai mengklik tombol 'publish post', kemudian membaca ulang (lagi), menyunting ulang dan seterusnya, bagi saya, adalah inti kenikmatannya.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda menikmati kegiatan menulis Anda?

Thursday, March 06, 2008

Perusahaan Low Profile

Tahun ini, perusahaan tempat saya bekerja merayakan 40 tahun keberadaannya di Indonesia. Dalam 'gambar tema' seperti yang terlihat berikut ini, tulisan "40 years of journey with strong and continuous commitment" tampak menghiasi.

Sayangnya, paling tidak yang saya rasakan, kurun waktu empat dasawarsa dan triliunan rupiah ke kas negara tiap tahunnya tidak membuat perusahaan ini cukup dikenal. Saya merasa ia memang kurang berusaha menampilkan dan memperkenalkan eksistensinya di tanah air.


Terlalu low profile? Mungkin. Bahkan beberapa tahun setelah logo-logo Shell dan Petronas meramaikan Jakarta dan sekitarnya, baru di tahun 2008 perusahaan ini akan turut menampakkan diri di tengah pandangan mata masyarakat lewat SPBU-nya.

Setahunan yang lalu, saat ExxonMobil sudah lebih dulu menampilkan iklan branding-nya (itu lho, yang di antaranya menonjolkan bahwa mereka terdiri atas 95% putra terbaik bangsa), saya berpikir bahwa perusahaan yang menggaji saya memang tertinggal dari segi promosi.

Kurang dikenal dan kurang akrab di tengah khalayak - perkecualian untuk Balikpapan, kota yang memang 'rumahnya'. Itu yang saya alami sendiri saat berusaha menjelaskan bidang usaha perusahaan ini ke teman, saudara atau tetangga yang menanyakan.

Sering sekali, kalau tidak hampir semua yang bertanya, menyangka saya bekerja di perusahaan yang bergerak di konstruksi sipil (inilah resiko nama 'pasaran'). Ah, mungkin tulisan di gambar itu perlu ditambahi sedikit: "40 years of journey with strong and continuous commitment but obscure reputation"...

Sunday, March 02, 2008

Berapa Bunganya?

Sebuah obrolan di dunia maya bersama seorang teman lama belum lama ini membawa kami sekilas pada topik kartu kredit. Saat saya menyebutkan penerbit satu-satunya kartu kredit yang saya punyai, spontan teman saya menyahut, "Berapa bunganya?"

Sebenarnya ini pertanyaan yang lumrah saja kan? Wajar dong, kalau kita ingin tahu suku bunga utang suatu produk kartu kredit? Sekedar menggali info untuk membandingkannya dengan produk lain kan bolah-boleh saja?

Mmmm, memang wajar sih. Lumrah-lumrah saja. Namun, menurut saya, menjadikannya sebagai pertanyaan pembuka merupakan sinyal bahaya.


Grafis diambil dari www.abcnews.go.comDi mana letak bahayanya?
Saat seseorang spontan bertanya tentang bunga sebuah kartu kredit, sangat mungkin ada kecenderungan bahwa dia akan 'membolehkan' atau 'memaklumi' jika dirinya tidak membayar sebelum tenggat yang ditetapkan. Ada sikap mental yang seolah permisif terhadap menumpuk utang dengan bunga selangit ala kartu kredit. Secara tidak sadar dia telah mengindikasikan bahwa di masa datang cukup besar kemungkinan baginya menunggak tagihan.

Saya rasa sikap inilah yang mestinya kita benahi. Saya berpendapat bahwa kartu kredit adalah salah satu alternatif cara pembayaran yang penggunaan dan pelunasan tagihannya harus selalu dikontrol dengan disiplin ekstra agar kita tidak sampai terimbas bunga sama sekali. Ia memang pintu berbagai kepraktisan dan fasilitas, namun saya tegaskan bahwa sekuat tenaga kita harus PASTIKAN bahwa jeratan bunga tidak mencekik leher kita.

Saya berpendapat bahwa 'limit kredit' yang dipunyai sebuah kartu tidaklah terlalu relevan untuk kita cermati. Yang harus kita jaga adalah disiplin untuk selalu membatasi diri kita dalam pemakaiannya. Kita perlu menetapkan 'limit kredit' untuk diri sendiri, misalnya: maksimum sepertiga dari pendapatan bulanan.

Sampai di sini Anda mestinya sudah bisa menebak arah tulisan saya. Ya, dari tadi memang saya hanya mencari pembenaran atas keteledoran saya, yang sampai saat saya mengetik baris ini, benar-benar lupa berapa sebenarnya bunga utang kartu kredit saya, hahahaha...

Saya tidak bercanda, sesungguhnya buat apa kita peduli berapa bunga kartu kredit kita kalau sejak saat pertama kali mengajukan permohonan kepemilikannya, kita sudah tahu persis manfaat dan bahayanya? Apakah Anda perlu menanyakan seberapa parah kemungkinan Anda terluka saat seorang teman menceritakan seperangkat pisau dapur baru miliknya?

Jangan Antri di Bank Capek Antri

Tulisan ini kutujukan terutama untuk mengurangi ke-bete-an seorang rekan saya seperti yang tercermin di blognya. Tidak untuk membela bank itu lho, Put, apalagi mempromosikannya, tapi hanya untuk memperkaya wacana saja. Juga memperluas cakupan pilihan kita murni karena kemanfaatan yang kita sebagai konsumen bisa optimalkan: tidak melulu fanatisme buta, suka atau benci terhadap suatu produk (untuk yang satu ini aku sendiri sampai sekarang masih punya satu penyakit: benci henpon Nokia hanya karena sudah banyak yang pakai, hehehe... alasan yang memang kurang masuk di akal).

Aku membuka rekening Bank Capek Antri sekitar pertengahan atau akhir 2004 (lupa tepatnya, euy). Oya, disklemar-klemer: tulisan ini valid hanya bila Bank Capek Antri yang dimaksud Putie dalam tulisannya sama dengan apa yang ada di pikiranku sekarang. Kayaknya sih sama :-)

Lanjut. Waktu itu alasanku simpel saja: aku baru pindah ke Jakarta untuk bekerja dan menetap di sana. Di sekitar kantor, kos dan 'tempat-tempat jajahanku' ATM bank inilah yang pating tlecek (kalau nggak tahu apa itu 'pating tlecek', silahkan buka Kamus Indonesia-Prancis). Teman-teman, berbagai instansi dan merchant, dan banyak orang yang kukenal menggunakan rekening bank ini. Demi kemudahan transaksi-transaksiku, akhirnya kuputuskan untuk memindah rekening tempat gajiku mampir (hanya mampir, karena tiap bulan tak banyak yang bisa kusisihkan, but that's another story). Yap, pilihanku: Bank Capek Antri.

Belakangan, setelah aku menikah dan ekonomi mulai sedikit tertata (juga kebutuhan semakin terpilah-pilah), munculah keperluan untuk rekening 'simpanan yang sebenarnya': rekening tempat dana darurat disimpan. Pilihanku jatuh pada sebuah bank syariah - ini di samping karena alasan 'ketentraman hati', juga tetap ada faktor kepraktisan: kartu ATM bank syariah itu bisa berfungsi juga sebagai kartu ATM/debit di tempat-tempat berlogo Bank Capek Antri.

Semenjak hari itu hingga detik ini, rekening Bank Capek Antri-ku murni berfungsi sebagai 'dashboard', panel operasi, untuk menerima dana dan pendistribusiannya ke pos-pos yang lain. Ciri khasnya: seminggu atau beberapa hari menjelang gajian, saldoku di Bank Capek Antri hampir pasti kurang dari 500 ribu rupiah :-)

Terus mengenai biaya-biaya transfer via teller yang mahal? Charge tambahan untuk pencetakan rekening koran di atas sebulan yang lalu? Kudu antri lama karena selalu berhubungan dengan Bank Capek Antri?

Justru di sinilah triknya: alih-alih selalu capek ati dan buang-buang waktu antri, ya sekalian aja buka rekening di sana. If you can't beat them, join them (ndak tau nih quote siapa).

Optimalkan manfaat internet banking dan mobile banking-nya. Dashboard-mu (ponsel dan komputermu) akan memudahkanmu bertransaksi tanpa harus antri. Bahkan ke ATM pun cukup sesekali saja untuk kebutuhan cash (yang tentu semakin berkurang karena banyak transaksi sudah ditekel di dunia maya atau menggunakan kartu debit dan kartu kredit).

Untuk menyimpan sejarah transaksi, print atau save saja dari situs klik Bank Capek Antri secara rutin setiap bulan dalam bentuk Excel (nggak antri kok, mau di rumah jam 11 malem juga bisa). Transfer antar-bank dalam negeri juga bisa dari sana, cukup dengan biaya lima ribu rupiah untuk non-real-time (kata customer service-nya sih sekitar 2-3 hari baru sampai, kalau yang real-time biayanya 20 ribu, cukup mahal bagiku untuk transfer di bawah 5 juta). Untuk bank-bank yang sudah bekerja sama ATM-nya dengan Bank Capek Antri, kita bisa transfer dengan ponsel saja dan pasti real-time dengan biaya 5 ribu rupiah.

Akhir-akhir ini pemerintah mendengung-dengungkan slogan 'Ayo ke bank'. Untuk kita yang tinggal di kota besar dan sangat mungkin terjebak dalam antrian panjang teller bank - bahkan antrian ATM, aku rasa sungguh tepat untuk mengelaborasikannya menjadi: ayo ke bank untuk mengaktifkan mobile, phone dan internet banking. Setelah itu? Yah, mungkin dua tahun sekali saja ke bank kalau sedang kangen dengan rasanya antri atau pengen kenalan sama mbak-mbak teller...