Sunday, November 22, 2009

Suvenir dari Paris

We were in downtown Paris and decided to grab some oleh-oleh yang khas dari kota ini.

Hmmm, sebuah miniatur menara Eiffel yang ternama itu, yang ditawafi lebih dari 6 juta orang per tahun itu... Nice, right?

Tapi jangan miniatur logam yang biasa itu lagi. Standar. Cari yang lucu deh, yang diberi warna-warni lucu dan dari kayu mungkin?

Seperti ini:

Yep, that's what I'm talking about. Something different. Empat setengah Euro juga masih sebanding. Still nice. Apalagi anak kami sudah tidak mau menegosiasikan lebih lanjut. Harus yang itu :-)

Lalu kita amati lagi Menara Eiffel mini nan imut ini. Eh, lho koq...


Wait a minute! This is NOT nice!

This is GREAT :-)




Tuesday, July 28, 2009

Durian dan Stroke


Seorang pria 30 tahunan akhir tengah asyik memilih-milih Durian Monthong di sebuah supermarket. Beberapa kali dengan khusyuk ia mencicipi potongan durian yang diberikan penjaga counter buah.

Istrinya lalu menghampiri, “Awas stroke,” celetuknya singkat sambil berlalu menuju bagian ikan.

“Huh,” Si Suami berusaha cuek agar konsentrasinya tetap terpusat di lidahnya. Memang harus diakui, hasil medical check-up terakhirnya perlu diwaspadai. Kadar kolesterol darahnya melejit di atas 250 mg/dL.

“Tapi kan sebenarnya durian mengandung banyak serat,” batinnya. “Durian sama sekali tidak mengandung kolesterol, hanya memang kandungan gula dan lemaknya cukup tinggi.”

Setelah mendapat satu buah yang rasa dan teksturnya benar-benar pas, ia berniat beranjak. Namun...

“Ah, mumpung lagi musim dan lagi ada di sini, sekalian beli untuk persediaan satu bulan aja deh..” pikirnya. Lalu kembali, dia terlarut dalam aktivitas bergoyang lidah menyeleksi buah kegemarannya itu.

Sang istri yang kebetulan lewat lagi untuk memenuhi daftar belanja kembali menegur, “Awas stroke.”

Si Suami bergeming, “Mama berisik deh,” katanya dalam hati. Tanpa terasa 20 menit berlalu dan ia sudah mengantongi cukup banyak durian.

Selesai membayar, nampak ia bersungut-sungut memeriksa struk belanjanya sambil mengamati isi troli mereka.

“Perasaan barang belanjaan kita gak terlalu banyak, Mam, tapi kok habisnya lewat sejuta sih?“

“Loh Papa, dari tadi kan Mama sudah ingetin: awas struk, awas struk, tapi tetep aja Papa borong tuh duren.“

“Owalaah, kiarin tadi Mama ngingetin Papa tentang stroke...“

Catatan:
Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam (Edisi III) Jilid Pertama di bagian Hiperlipidemia (oleh Prof. Slamet Suyono) disebutkan bahwa buah durian (di sana tertulis ’duren’) digolongkan sebagai makanan yang harus dibatasi konsumsinya oleh penderita hiperlipidemia. Artinya, bagi orang yang kadar kolesterol dan/atau trigliserida darahnya normal, manfaat durian (yang mengandung banyak serat dan vitamin itu) dapat dinikmati dengan lebih ’bebas’. Bagi yang di atas normal? Aku saranin sih stop ngemil duren dulu...

Thanks buat my lovely wife yang udah mengizinkan buku kuliahnya kujarah dan kubolak-balik.

Tuesday, June 30, 2009

Secuil Cerita dari Pesta Buku Jakarta 2009

Hari Minggu lalu, dengan semangat '45, kami sekeluarga berangkat menuju Pesta Buku Jakarta 2009 yang bertempat di Istora GBK Senayan. Di benak saya dan istri sudah terbayang beberapa buku yang nanti akan kami buru di sana – harapannya tentu dengan diskon yang menarik :-) Pokoknya mupeng mode is on bangetlah. Siap-siap berfoya-foya memborong, hehehe...

Tak lupa, menu incaran lain yang selalu menarik dikoleksi adalah buku-buku edukatif untuk balita kami. Pastinya akan ada banyak sekali pilihan di sana.

Jadi... memang benar banyak pilihan tidak? Benar kok, banyak! Buannyyaaakkk sekali malah. Namun bisa memilih dengan leluasa atau tidak, itu soal lain.

Bagaimana tidak, pameran buku yang di bayangan kami nggak akan jauh beda dengan Kompas Gramedia Fair di tempat yang sama akhir Januari lalu, ternyata tak ada mirip-miripnya. Lima bulan yang lalu kami bisa melihat-lihat buku dengan cukup nyaman. Hampir semua stand tuntas kami jelajahi dengan rileks. Kontras dengan suasana PBJ 2009 ini. Pengunjung berjubel penuh sesak. Ditambah dengan jumlah stand yang rasa-rasanya jauh lebih banyak, otomatis ruang gerak jadi sangat terbatas.

Boro-boro memilih buku dengan nyaman, untuk berjalan berkeliling saja sudah sumpek rasanya. Bermacam kertas dan brosur promosi berserakan menambah kesumpekan itu.

Akhirnya kami hanya bisa bertahan satu jam saja di sana. Keburu pusing dan capek. Tak ada buku target yang sempat terbeli :-( meski beberapa buku untuk anak masih bisa kami dapatkan.

Mungkin saja timing kami memang bertepatan dengan puncak keramaian pameran ini: hari Minggu, dalam liburan sekolah, pas setelah tanggal gajian pula.

Bukan berarti kami tidak merekomendasikan PBJ 2009 ini, lho. Bagi yang gemar membaca atau yang baru ingin gemar membaca (seperti kami), datang ke acara seperti ini tentu membangkitkan gairah berbelanja. Which is good and encouraged karena lapar matanya karena buku. Hanya saja kalau bisa, kali ini Si Kecil ditinggal saja deh di rumah, hihihi.

p.s. agenda ini ternyata punya situs juga lho. Monggo, klik di sini. Di salah satu foto yang terpampang di sana, you will see apa yang saya maksud dengan ‘berjubel penuh sesak’ :-)


Friday, April 24, 2009

Menikuskan Koruptor

Look at these pictures, folks:

dicomot dari http://menteridesainindonesia.blogspot.com
diambil dari http://kolierharyanto.wordpress.com

di-save-as dari http://easy.blogdetik.com
So what about them? Nothing new, ay?

Yup, biasa-biasa saja memang. Sudah jutaan kali kita menjumpai karikatur-karikatur model demikian di berbagai media.

Aku hanya tertarik untuk sharing apa yang kudengar di khotbah Jumat tadi – ok, now THIS is new: I didn’t fall asleep during today’s khotbah, yuppiiey! :-p

Begini, rasanya kurang pantas dan beradab kalau kita terus-menerus mengidentikkan atau menggambarkan para koruptor dengan perlambang binatang (in this case, mice). Sudahlah, jangan keterlaluan.

Apa kita tidak kasihan...




...kepada para tikus yang disederajatkan dengan koruptor itu?

Monday, April 20, 2009

Reality Check: Biaya Pendidikan

Look at these numbers, folks:

Uang SPP kuliahku (Fak. Teknik) DITAMBAH uang SPP kuliah istriku (Fak. Kedokteran) = Rp 475.000 per SEMESTER (kami masuk kuliah akhir tahun 90-an – ya ya ya, that’s like when dinosaurs were still around).

Uang SPP PLAYGROUP anakku (masuk per Juli nanti) = Rp 300.000 per BULAN.

Bagus! Great isn’t it, angka yang ada di biaya sekolah anakku ternyata jauh lebih kecil :-D

And for the record, terakhir kali istriku bayar SPP baru empat tahun yang lalu.

Ok everybody, back to your Excel sheets!
D*mn baru inget kalo file hitung-hitungan family financial planning-ku udah ikut terhapus dalam tragedi crash laptop tahun lalu. Well, let’s start from scratch then, hiks hiks hiks...

Friday, April 17, 2009

[Acronym of the Month] SOP

No further comment-lah pokoke untuk yang satu ini. Salut untuk redaktur http://www.beritajakarta.com/ atas kreativitasnya dalam menciptakan singkatan baru :-)

Berikut ini skrinsyutnya:klik kalau mau lebih jelas

Link-nya kukasih juga deh di sini biar sah.

Btw, Mbak Wiki punya pendapat lain tentang kepanjangan SOP. Berikut ini tautan ke sana.

Namun, buat kru Berita Jakarta: nggak pa-pa lho ya, jangan diedit artikelnya. Kalo dibenerin, ntar malah gak layak lagi dikasih gelar acronym of the month di blog saya, hihihi...

Wednesday, March 18, 2009

Perlukah Mencantumkan Zakat di SPT Pajak?

Well, it’s that time of the year. Batas akhir pelaporan SPT tahun pajak 2008 semakin dekat. Yap, akhir bulan ini – kecuali Anda sedang mood membayar denda :-)

Bagi karyawan berpenghasilan tunggal dari satu pemberi kerja seperti saya, pengisian SPT sesungguhnya tidaklah terlalu njlimet. Apalagi saya beruntung: bagian HR di kantor tempat saya mburuh sangat berbaik hati untuk mengisikan form 1770 S para pegawainya. Jadi kami tinggal melengkapi sedikit lampiran II-nya – itu lho yang berisi daftar harta dan utang kita di akhir tahun (yang disebut belakangan seringkali jumlahnya lebih besar, hihihi...).

Sampai di sini, kalau Anda nggak mudheng babar blas apa yang saya bicarakan, then you’re really scr*wed. Hehehe, gak dhing. Silakan stop dulu lalu baca-bacalah artikel dan referensi pembelajaran pajak yang berserak di dunia maya – bahasa halusnya: RTFM (read the fu... errr I mean, the fine manuals). Atau bertanyalah ke kawan Anda yang cukup melek pajak. Jangan sampai hari gini Anda masih buta pajak.

Ok, siap lanjut membaca? Sekarang masuk ke pencantuman zakat (tentu bagi wajib pajak muslim) dalam SPT. Apa gunanya?

Usut punya usut, setelah berkonsultasi dengan seorang rekan yang melotot pajak (udah bukan level melek lagi sih dia. Please waive your hand if you’re there, Bung Aditya of Kebumen), saya berpendapat: untuk kasus saya, pencantuman zakat dalam SPT adalah ‘kurang bermanfaat’ – kalau tidak mau dibilang tidak bermanfaat sama sekali. Nah lo?

Begini, masuknya zakat dalam formulir 1770 S kan sebenarnya berefek mengurangi pendapatan kena pajak (PKP). Silakan simak kropingan lembar 1770 S berikut:Klik untuk memperbesar

Artinya kalau pajak kita sudah dipotongkan dari gaji oleh kantor dan kemudian kita masih menzakatinya lagi, mustinya akan ada kelebihan pembayaran pajak dong? Betul. Lebih bayarnya bisa direstitusi alias diminta lagi dong? Ternyata tidak!

Monggo dipelajari penjelasan Angka 17 di halaman 23 dari Petunjuk Pengisisan 1770 S (donlotnya di link ini). Untuk singkatnya, saya kutipkan saja dari sana: “Permohonan [maksudnya permohonan restitusi] tidak berlaku apabila kelebihan bayar berasal dari PPh yang ditanggung pemerintah dan zakat.

Nah, cukup jelas bahwa meskipun setelah memperhitungkan zakat, SPT kita akhirnya lebih bayar sekian rupiah (i.e. tidak berkesudahan ‘Nihil’), there’s not much we can do about it kecuali berbangga hati telah menjadi warga negara yang berbagi penghasilan lebih dari yang seharusnya :-)

Sialnya, selentingan yang beredar malah menciutkan nyali: pelapor SPT lebih bayar akan diinvestigasi ‘secara mendalam’ alias diobok-obok oleh penyelidik dari Kantor Pajak. Hiiii... Gimana nih? Semoga isu ini tidak benar.

Seorang rekan berkata, “Zakat kan mustinya tulus ikhlas. Kalau sudah ikhlas, ngapain masih kita kulik-kulik di formulir SPT pajak kita? Apa mau diminta lagi?” Nah, kalau yang ini mungkin ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, seorang wajib pajak (WP) muslim yang lebih percaya kepada lembaga zakat daripada pengelola pajak (no hard feelings, my fellow bureaucrats...) akan lebih bersemangat berzakat dengan adanya fasilitas ini i.e. yang menggolongkan zakat sebagai komponen pengurang PKP. Catatan: ini berlaku untuk WP muslim yang memiliki penghasilan di luar penghasilan yang sudah final/dipotongkan pajaknya.

Bagaimana? Mumet? Anda pikir saya tidak?

Kasih contoh ajalah: Berbeda dengan saya, kawan saya, sebut saja namanya Bunga (halah, kayak nama samaran korban perkosaan di berita kriminal) adalah seorang karyawati yang nyambi jualan (a.k.a punya toko). Nah, bagi Bunga yang taat bayar zakat dan taat pula bayar pajak ini (a.k.a orang bijak), fitur perhitungan zakat sangat bermanfaat saat pelaporan SPT.

Gajinya sudah dipotong pajak oleh tempatnya bekerja, ok, itu jelas. Namun, penghasilan dari tokonya (yang konon jauh lebih besar dari gajinya sebagai karyawati itu) kan belum dipajaki? Nah, this is where zakat comes into the equation. Di mana masuknya? Ya seperti yang terlihat di cuplikan gambar di atas tadi – dia akan mengurangi PKP Mbak Bunga dan pada gilirannya mengurangi pajak terutangnya.

Terus, bukti Bunga sudah berzakat sekian-sekian apa? Ini pertanyaan penting. Bunga harus menyalurkan zakatnya kepada amil zakat yang diakui oleh pemerintah (sampai saat saya menulis ini, belum nemu juga daftarnya, mohon maaf – ada yang bisa membantu?). Lembaga itu akan memberi Bunga kuitansi penerimaan zakat atas nama Bunga dan ini harus dilampirkannya saat melaporkan SPT.

Ini saya ada contohnya (terima kasih buat Mbak Ayu di RZI Cabang Jatinegara yang sudah mencetaknya):Klik untuk memperbesar
Jumlah zakat tentu saya tutupi supaya Anda tidak minder, hihihihi, guyon lho ;-) You see, ada keterangan di situ menyebutkan bahwa kuitansi itu bisa digunakan sebagai pengurang PKP.

Di sini saya harus membuat ending tulisan ini (OMG, panjang juga postingan saya, maybe I should’ve split it into two posts...). Enaknya bagaimana ya...

Gini aja, sebuah kesimpulan: jika Anda adalah seorang WP muslim yang rajin berzakat dan semua penghasilan Anda sudah dipotongkan pajaknya oleh pemberi kerja, sesungguhnya memperhitungkan zakat dalam SPT Anda tidaklah akan banyak berguna. Paling-paling SPT Anda akan lebih bayar dan kemudian Anda bisa bergaya: “Gue dooong, bayar pajaknya lebih...” Hence, if you’re not really into bragging anyway, biarkan saja zakat Anda hanya Anda dan Tuhan (dan para Mbak Ayu) yang tahu and just be content with perpetual ‘NIHIL’ in your annual tax report form :-)

Thursday, February 26, 2009

Aurat Kasih

Saat istriku bilang aku pasti bakal suka banget iklan TV yang satu ini, dia membuatku penasaran. Lebih spesifik, ia menjamin aku nggak akan bosen melihat bagian ending-nya. Emangnya kenapa sih, istimewanya di mana?

Ternyata yang dimaksud adalah iklan Frestea yang baru. Yang dibintangi Mbak yang ini:


Weleh, weleh, weleh...

Aku nggak mau komentar mendetail lebih lanjut. Perhatikan sendiri saja bagian akhir iklan saat adegan Si Mbak melenggang berpapasan dengan seorang pria sambil menenggak dagangannya. Ampun deh ;-)

Maklum, namanya juga Aura Kasih, aura(t)-nya dikasih-kasih unjuk, hihihi. Piss ah, Mbak Aura...

Tuesday, February 24, 2009

Oksimoron Investasi

Kamus online Merriam-Webster bilang, oxymoron artinya “a combination of contradictory or incongruous words (as cruel kindness) ; broadly : something (as a concept) that is made up of contradictory or incongruous elements”. Senada, Oxford Online mendefinisikannya sebagai “a figure of speech or expressed idea in which apparently contradictory terms appear in conjunction (e.g. bittersweet)”.

Dalam hal berinvestasi, kalau ada yang bertanya: ‘investasi jangka pendek’ itu oksimoron bukan? Apa jawaban Anda?

Saya sendiri akan menjawabnya tanpa ragu: itu oksimoron!

Mungkin saya terlalu kaku, namun saya melihat bahwa bermanuver finansial demi mengincar keuntungan jangka pendek lebih cocok disebut berspekulasi daripada berinvestasi. Kalaupun istilah ‘spekulasi’ terkesan terlalu negatif, yah, mungkin kata trading lebih mewakili.

Saya teringat bisik-bisik istri saya sekitar sebulan lalu yang entah mendapat wangsit dari mana meramalkan bahwa harga emas tahun ini akan mengangkasa sampai 800 ribu rupiah per gram. Beli saja sebanyak-banyaknya sekarang, kemudian nanti ketika harganya 800 ribu, kita jual lagi demi merealisasikan keuntungan yang sangat besar. ‘Ketika’? ‘Jika’ mungkin lebih pas. Di sinilah unsur spekulasi ini kental terasa.

Investasi, entah untuk dana pensiun, pendidikan anak, naik haji, keliling akhirat, eh dunia, beli rumah atau big purchases lainnya semestinya dijalankan dengan cermat dan berjangka panjang. Jika gain cepat yang menjadi target, ya berjualbelilah – atau berjudi (baca: berspekulasi).

Mendisiplinkan diri dengan menganut investment is for long term only membuat kita lebih teliti memilih berbagai produk keuangan, lebih tahan dan sabar diterpa badai krisis dan tidak mudah tergiur iming-iming kaya mendadak.

Oya, mumpung suasana politik sedang hangat-hangatnya, tak ada salahnya saya beri dua contoh oksimoron di sektor non-favorit saya itu: ‘caleg pro-rakyat’ dan ‘anggota dewan yang terhormat’. Bermimpilah, kawan :-)

Monday, February 09, 2009

Dua Setengah Jam di FES 2009

Hari Sabtu lalu kami sekeluarga menyempatkan diri mengunjungi Festival Ekonomi Syariah 2009 yang bertempat di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan. I know, from the title, it looked like a veeery boring weekend-quality-family time burner. Well, I wouldn’t say it was highly amusing, tapi setidaknya ada tambahan pengetahuan yang kami peroleh di sana.

Sempat ditodong juga untuk apply kartu kredit – bagiku istilah ini tetap pas meski Mbak Marketing-nya berkeras gak mau menyebutnya ‘kartu kredit’ – yang hari itu juga baru diluncurkan: BNI Hasanah Card. Ya wis, isi aja formulirnya biar dapat suvenir. Kalo beneran di-approve (apalagi kalau dikasih limit lebih tinggi), ya tinggal BNI Card lamaku dimuseumkan :-)

Perbedaannya dengan kartu kredit konvensional mudah ditebak: jangan ada riba di antara kita. Di sini penundaan pembayaran melebihi tenggat akan dikenai ‘monthly membership fee’ yang besarnya berbanding lurus dengan nilai tunggakan (Horotoyoh, terus bedanya dengan bunga apa? Mbuh ra weruh, for the moment aku percaya dulu aja sama Dewan Pengawas Syariah atau whoever authorities yang memberi cap syariah pada produk ini).
Nina dan bundanya yang kuterlantarkan di Kids' Spot sementara aku berkeliaran dari stand ke stand
Konsekuensinya, bunga berbunga katanya tidak akan terjadi. Bottom line (lagi-lagi katanya): ‘kredit’ akan menjadi lebih murah dengan kartu ini – yang mana bagiku pribadi tidak akan memberikan manfaat signifikan mengingat sikap tegasku dalam penggunaan kartu plastik ajaib ini.

Jadi apakah aku terkena sharia sales gimmick? Kalaupun iya, yo ben, sing penting judule syariah dhisik, hihihi...

Informasi utama yang sebenarnya ingin kugali dari pameran ini adalah tentang investasi di BMT. Seorang teman lama (suwun untuk pencerahannya, Mbah Rist) sudah cukup lama merekomendasikan untuk memilih produk bagi hasil dari BMT-BMT karena langsung bergumul di sektor riil bersama pengusaha kecil dan mikro. Di saat krisis seperti ini bila kita bersama-sama menggerakkan perekonomian rakyat, teorinya bangsa ini akan bisa survive bahkan berkembang. Intinya adalah bagaimana duit itu bisa trickle-down lalu berputar sampai ke pengusaha akar rumput.

Bagi hasilnya bagus gak? Performanya beberapa tahun terakhir ini cukup menggiurkan: rata-rata di atas 12% per tahun – setelah pajak.

Keputusannya? Langsung menanam modal di sana? Belum. Lha wong menurut Mbak CS-nya minimum investasinya 50 jeti (link perusahaannya ada di sini – kebetulan foto mbak itu juga nampang di sana. Ada yang pengen tau nama dan nomer HP-nya? Kekeke...).

Karena dana segar sesegar itu belum ada, sementara ini tarik nafas dulu ah, sambil ancang-ancang membidik sukuk ritel dari pemerintah yang angka pembelian minimumnya lebih bersahabat. Namun untuk ke depannya, for sure, aku akan menjadikan BMT salah satu keranjang telur keluarga kami.

Friday, January 09, 2009

Dasar Lelaki

Dalam obrolan ringanku bersama beberapa teman sekantor tentang teman sekantor lain (ok, ok, I admit it: kami nggosip) terkuak fakta bahwa sang objek berita, yang baru dalam hitungan bulan istrinya meninggal dunia, telah melangsungkan akad nikah lagi.

Temanku bilang, kaum hawa di kantor sepakat berkomentar: "Memang lelaki begitu sih..."

Dan saat aku pulang ke rumah lalu menyelipkan kabar itu dalam bincang mesra bersama istri (halah), komentar dia pun sama - bahkan kata-katanya pun persis plek, kayak forward-an sms: "Memang lelaki begitu sih..."

Hmmm... Sebenarnya, sejujurnya, kalau kita mau melihat dari sisi berbeda, komentar yang timbul untuk berita jenis ini bisa berbalik arah:

"Memang dasar perempuan..."

"Lho, kok perempuan yang didasar-dasarkan?"

"Lha iya, nggak bisa lihat duda mapan baru. Begitu ada yang lewat, langsung aja: iya Bang, ayuk kita ke penghulu..."

*pakai helm terus ngumpet*