Friday, May 27, 2005

Mahalnya Menikah

Seorang teman berkomentar setelah menghadiri acara resepsi perkawinanku dua minggu lalu. Kalimatnya kurang lebih:

"Wah, kalau di Jakarta, dengan duit 50 juta, belum bisa nih ngadain yang model begitu."

Aku menyimpulkan bahwa mungkin dia memperkirakan acaraku kemarin memerlukan biaya tak jauh dari 50 juta karena 'cuma' diadakan di Jogja. Berapa ya, 40 juta? Jauh, Mbak. Bahkan 30 juta pun masih sisa banyak kalaupun acara akad nikah di rumah sampai semua barang tetek bengek (baca: biaya total dari kedua pihak/keluarga) sudah termasuk dalam perhitungan. Bukan angkanya yang kubahas di sini, tapi keberanian untuk melangsungkan pernikahan dengan apa yang seseorang miliki.

Banyak orang, termasuk temanku itu, terjebak pada ketakutan akan budget yang membengkak - yang pada gilirannya menjadi salah satu alasan populer menunda pernikahan - untuk merayakan pernikahan. Sekali lagi: merayakan. Coba kita pikirkan, dasar ketakutan sendiri itu pun sudah salah kaprah. Perayaan, yang biasanya berupa resepsi berisi acara jamuan bagi keluarga besar dan para tamu undangan, sungguh bukan hal yang utama dalam prosesi pernikahan. Orang sering lupa bahwa mulai berumah tangga sampai sepanjang sisa hiduplah yang jauh lebih penting untuk dipikirkan kedua mempelai daripada 'gebyar pesta' yang hanya beberapa jam (atau mungkin hari).

Artinya, pesta itu sendiri seharusnya disesuaikan kemampuan. Istriku selalu bilang: "Acaralah yang menyesuaikan anggaran, jangan anggaran yang menyesuaikan acara". Aku sih setuju banget. Terserah apa kata kebanyakan orang yang cenderung suka dengan yang 'wah'. Seminggu dua minggu kemudian mereka juga bakal lupa.

Kalaupun memang perlu kepanitiaan berikut schedule yang rapi dan terorganisir dengan segala konsekuensi biayanya, paling tidak kita musti memegang prinsip bahwa 'first thing first', mana even yang wajib (dalam hal ini secara hukum agama & negara), mana yang tentatif dan mana yang kurang perlu - karena seringkali justru di bagian 'kurang perlu' ini dana, tenaga, pikiran dan waktu paling banyak terkuras.

Kami jelas berbahagia mendengar komentar saudara dan rekan-rekan yang puas akan kemeriahan resepsi waktu itu (bahkan ada yang hanya dengan melihat
foto-fotonya saja, berkesimpulan acaranya meriah sekali). Meski begitu, seandainya kami tidak mengadakan pesta sama sekali pun, kebahagiaan menikah bagi kami tetap sama.

Akhirnya, terima kasih untuk para panitia: ummm... eh, gak ada panitia dhing, hahaha... Wong ya cuman kami berdua dan ortu yang menyiapkan semuanya. Alhamdulilah, Allah melancarkan semuanya.



p.s. Senang juga ada lebih dari satu orang (biasanya cuman istriku) yang bilang aku ganteng (hoekkk... padahal selama ini dia menghibur doang). Kalo yang bilang istriku cantik sih dari dulu juga buanyak. Harus kuakui periasnya jago. Benar-benar serasa jadi raja & ratu sehari, seperti yang dikatakan banyak orang tentang pernikahan. Semoga awal yang indah itu menjadi inspirasi bagi perjalanan yang lebih indah lagi ke depan...

2 comments:

cikubembem said...

periasnya jago banget emang. *jempol*
selamat ya nDan. smoga tercapai semua yg dicita2kan dalam keluarga baru ini.

Irfan said...

Bondan, posting donk ttg suka-dukanya nikah :) How do you feel right now? Selain duit, sebenarnya apa sih yang harus dipersiapkan oleh seseorang yang ingin menikah? Apakah kita boleh menunda nikah karena merasa ilmu agama kita blm cukup?