Tulisan ini kutujukan terutama untuk mengurangi ke-bete-an seorang rekan saya seperti yang tercermin di blognya. Tidak untuk membela bank itu lho, Put, apalagi mempromosikannya, tapi hanya untuk memperkaya wacana saja. Juga memperluas cakupan pilihan kita murni karena kemanfaatan yang kita sebagai konsumen bisa optimalkan: tidak melulu fanatisme buta, suka atau benci terhadap suatu produk (untuk yang satu ini aku sendiri sampai sekarang masih punya satu penyakit: benci henpon Nokia hanya karena sudah banyak yang pakai, hehehe... alasan yang memang kurang masuk di akal).
Aku membuka rekening Bank Capek Antri sekitar pertengahan atau akhir 2004 (lupa tepatnya, euy). Oya, disklemar-klemer: tulisan ini valid hanya bila Bank Capek Antri yang dimaksud Putie dalam tulisannya sama dengan apa yang ada di pikiranku sekarang. Kayaknya sih sama :-)
Lanjut. Waktu itu alasanku simpel saja: aku baru pindah ke Jakarta untuk bekerja dan menetap di sana. Di sekitar kantor, kos dan 'tempat-tempat jajahanku' ATM bank inilah yang pating tlecek (kalau nggak tahu apa itu 'pating tlecek', silahkan buka Kamus Indonesia-Prancis). Teman-teman, berbagai instansi dan merchant, dan banyak orang yang kukenal menggunakan rekening bank ini. Demi kemudahan transaksi-transaksiku, akhirnya kuputuskan untuk memindah rekening tempat gajiku mampir (hanya mampir, karena tiap bulan tak banyak yang bisa kusisihkan, but that's another story). Yap, pilihanku: Bank Capek Antri.
Belakangan, setelah aku menikah dan ekonomi mulai sedikit tertata (juga kebutuhan semakin terpilah-pilah), munculah keperluan untuk rekening 'simpanan yang sebenarnya': rekening tempat dana darurat disimpan. Pilihanku jatuh pada sebuah bank syariah - ini di samping karena alasan 'ketentraman hati', juga tetap ada faktor kepraktisan: kartu ATM bank syariah itu bisa berfungsi juga sebagai kartu ATM/debit di tempat-tempat berlogo Bank Capek Antri.
Semenjak hari itu hingga detik ini, rekening Bank Capek Antri-ku murni berfungsi sebagai 'dashboard', panel operasi, untuk menerima dana dan pendistribusiannya ke pos-pos yang lain. Ciri khasnya: seminggu atau beberapa hari menjelang gajian, saldoku di Bank Capek Antri hampir pasti kurang dari 500 ribu rupiah :-)
Terus mengenai biaya-biaya transfer via teller yang mahal? Charge tambahan untuk pencetakan rekening koran di atas sebulan yang lalu? Kudu antri lama karena selalu berhubungan dengan Bank Capek Antri?
Justru di sinilah triknya: alih-alih selalu capek ati dan buang-buang waktu antri, ya sekalian aja buka rekening di sana. If you can't beat them, join them (ndak tau nih quote siapa).
Optimalkan manfaat internet banking dan mobile banking-nya. Dashboard-mu (ponsel dan komputermu) akan memudahkanmu bertransaksi tanpa harus antri. Bahkan ke ATM pun cukup sesekali saja untuk kebutuhan cash (yang tentu semakin berkurang karena banyak transaksi sudah ditekel di dunia maya atau menggunakan kartu debit dan kartu kredit).
Untuk menyimpan sejarah transaksi, print atau save saja dari situs klik Bank Capek Antri secara rutin setiap bulan dalam bentuk Excel (nggak antri kok, mau di rumah jam 11 malem juga bisa). Transfer antar-bank dalam negeri juga bisa dari sana, cukup dengan biaya lima ribu rupiah untuk non-real-time (kata customer service-nya sih sekitar 2-3 hari baru sampai, kalau yang real-time biayanya 20 ribu, cukup mahal bagiku untuk transfer di bawah 5 juta). Untuk bank-bank yang sudah bekerja sama ATM-nya dengan Bank Capek Antri, kita bisa transfer dengan ponsel saja dan pasti real-time dengan biaya 5 ribu rupiah.
Akhir-akhir ini pemerintah mendengung-dengungkan slogan 'Ayo ke bank'. Untuk kita yang tinggal di kota besar dan sangat mungkin terjebak dalam antrian panjang teller bank - bahkan antrian ATM, aku rasa sungguh tepat untuk mengelaborasikannya menjadi: ayo ke bank untuk mengaktifkan mobile, phone dan internet banking. Setelah itu? Yah, mungkin dua tahun sekali saja ke bank kalau sedang kangen dengan rasanya antri atau pengen kenalan sama mbak-mbak teller...