Sunday, April 20, 2008

Partai-partai Dagelan, Dagelan Partai-partai

Nggak biasanya aku nulis tentang politik. Tapi sekali-sekali bolehlah karena memang yang lagi hangat adalah agenda persiapan Pemilu 2009: babak penyisihan partai-partai calon peserta Pemilu.

Aku nggak habis pikir mengapa begitu bejibun partai baru bermunculan. Apa memang aspirasi mereka ini benar-benar tidak terwakili partai-partai yang sudah ada (yang sudah banyak ini)? Atau jangan-jangan ini murni karena ambisi berkuasa (dan menangguk harta) semata? Apa karena ingin tampil saja, seperti segolongan dari peserta audisi Indonesian Idol yang tau persis kemampuan menyanyinya amburadul tapi tetap daftar dan datang audisi?


Bagi kami yang bukan politikus, semakin banyak partai adalah kabar buruk. Biaya yang ditanggung negara semakin besar. Dari mana dananya diambil? Ya dari kas negara, dana yang semestinya lebih berguna di sektor lain daripada dihabiskan untuk operasional partai dan biaya kampanye janji surga (serta hal-hal 'lain').

Aku sempat berpikir, kalau memang nanti banyak sekali partai yang lolos untuk Pemilu, bukan kertas suara lagi yang dicetak berjuta-juta itu. Tapi mungkin jadinya buku suara. Duitnya dari mana? Waduh ngeri, Pemilu jadi makin mahal saja :-(

Belum lagi dagelan partai-partai lama. Konflik internal terjadi di beberapa partai yang mestinya sudah mapan ini. Rebutan kepengurusan, beda tafsir AD/ART dan berbagai dagelan lain.

Muaranya sama: partainya pecah, terus jumlah partai bertambah juga akhirnya. Weleh-weleh. Duitnya dari mana?

Wahai Bapak-Ibu politikus partai di sana, bagaimana kami hendak mempercayakan negeri ini ke tangan Anda? Lha wong Anda ngurusi partai sendiri saja eker-ekeran.

Kapan ya negeri ini ditangani para negarawan sejati, bukan politikus-politikus terussss...

Wednesday, April 16, 2008

Safe Deposit Box: Membeli Rasa Aman

Setahunan terakhir, apalagi setelah rumah kontrakan kami sempat dimasuki tamu istimewa setinggi mata kaki tatkala tenggelamnya Jakarta Februari 2007 (versi yang punya kontrakan itulah kali pertama sepanjang sejarah rumah yang kami tempati itu kemasukan air banjir, well, I guess we weren't so lucky), saya dan istri bersepakat untuk menyewa sebuah Safe Deposit Box (SDB) di bank. Rencana itu akhirnya terlaksana beberapa minggu yang lalu.

Seberapa perlukah? Bagi kami yang tinggal di daerah cukup padat, plus hanya berjarak sekitar 20 meter dari keruhnya Ciliwung, paling tidak dua bahaya laten selalu mengintai: kebakaran dan banjir. Masih ditambah satu 'bahaya' lagi, yakni kenomadenan kami. Aktivitas pindahan rumah berpotensi juga mengundang masalah. Tak lupa, resiko klasik tindak kriminal juga tak boleh disepelekan.

Saya tidak sedang membicarakan berkilogram emas permata maupun berlembar bilyet deposito atau saham. Yang saya maksud di sini lebih ke surat-surat penting, sangat penting sehingga menjadi begitu berharga, seperti: ijazah terakhir berikut transkrip nilai atau surat-surat yang berkaitan dengan kontrak kerja dan surat-surat perjanjian bermaterai dan surat atau sertifikat kepemilikan kendaraan dan rumah/tanah. Khusus untuk kami, kebetulan ada juga BPKB motor butut, bilyet deposito yang tak seberapa :-) dan beberapa gram perhiasan mas kawin. Yang terakhir disebut nilai rupiahnya memang tidak wah, namun yang namanya mas kawin, tahu sendirilah betapa sakralnya bagi pasutri.

Gambar diambil dari link Wiki di atasSetelah memilih beberapa alternatif, kami putuskan membuka SDB di BNI. Di samping murah sewanya dan lokasinya yang dekat, kebetulan istri saya merupakan nasabah Taplus-nya. Tentu kami tak berminat membuka rekening di bank lain hanya untuk menyewa SDB di bank tersebut karena itu simply hanya akan menambah beban biaya maintenance (biaya 'administrasi') per bulan.

Syarat yang lain cukup mudah, cukup fotokopi KTP dan pas foto berwarna. Setelah surat kuasa SDB kepada saya ditandatangani istri, kami berdua masing-masing mendapat satu anak kunci. Ketika salah satu dari kami hendak membuka SDB, kami harus membawa identitas diri, kartu kunjungan dan pastinya anak kunci itu. SDB hanya bisa dibuka dengan dua kunci. Kunci satunya berada di tangan petugas bank (berupa master key). Saya rasa ini prosedur standar di berbagai bank.

Dengan 275 ribu rupiah (termasuk PPN) per tahun atau nggak sampai 25 ribu sebulan untuk ukuran SDB yang kami pilih, 'pembelian rasa aman' ini saya rasa tidak mahal. Kabarnya, BRI juga memberikan bandrol yang sama. Tanpa bermaksud promosi, harga di kedua bank plat merah ini sangat murah bila kita bandingkan dengan yang ditawarkan BCA (hampir dua kali lipatnya).

Ukuran SDB sendiri bervariasi, namun sudah standar. Silakan cek di website bank penyedia atau tanya saja ke CS-nya via telepon. Masing-masing punya harga sewa yang berbeda. Sesuaikan dengan kebutuhan Anda. Kalau berlian Anda sekarung, ya jangan hanya menyewa SDB ukuran paling kecil :-)

Last but not least, tidak perlu kaya raya untuk membutuhkan SDB. Nggak perlu minder berada di ruang pelayanan khusus (di BNI disebut layanan nasabah Prima - waktu kami di sana ada nasabah lain yang dengan santainya membicarakan deposito duit 'gede' dengan mbak CS-nya). Daripada kelimpungan nyari ijazah yang keselip entah di mana di lemari atau merasa was-was saat meninggalkan rumah terutama untuk waktu yang lama, saya anjurkan untuk menyimpan surat penting, perhiasan dan logam mulia di SDB bank Anda. Toh belum tentu setahun sekali Anda membutuhkannya.

Friday, April 11, 2008

Etiskah?

Beberapa jam yang lalu saya mendapat balasan imel dari seorang rekan di kantor. Bukan cuma saya, namun ada beberapa orang lain yang di-cc. Lalu lintas imel ini terjadi di dalam jaringan imel kantor dan berisi murni tentang pekerjaan.

Namun ada yang saya rasa kurang sedap dipandang di imel itu saat saya hampir selesai membacanya. Ada apa itu di bagian signature-nya?


Di baris paling bawah official signature beliau terpampang dengan bangga sebuah link internet. Dari nama website-nya, jelas situs itu berhubungan dengan investasi yang berbasis MLM, arisan berantai atau semacamnya (saya nggak yakin kalau sebutan 'investasi' sendiri tepat).

Benar, saat akhirnya saya tak mampu menahan godaan untuk mengkliknya, layar laptop saya segera menyajikan sebuah halaman yang intinya berisi iming-iming agar pembaca menyetor uang untuk kemudian mendapat uang lebih banyak sesuai 'level' si penyetor. Standarlah. Dan tentu saja, di halaman itu tertera nama rekan kantor saya tadi. Mungkin sebagai upline atau referal atau sejenisnya.

Menurut saya ini tidak pada tempatnya. Mungkin bisa dikategorikan spamming halus. Menjadi tidak tepat karena menggunakan sarana komunikasi perusahaan, apalagi dalam topik yang bersifat resmi dan profesional. Penyalahgunaan ini mirip-mirip dengan yang saya lakukan sekarang: ngeblog dengan komputer, bandwith dan waktu kantor, wakakaka...

Saya jadi berpikir, apa beliau ini men-default-kan signature-nya seperti itu tak peduli ke siapa ataukah hanya untuk orang-0rang tertentu saja (kebetulan saya baru pertama kali ini berkirim imel dengan beliau)? Hihihi, jadi ingat ketika saya sendiri pernah hampir menambahkan link ke blog ini di signature imel kantor lama...

Tuesday, April 08, 2008

Parkir Jalanan Gramedia Matraman

Setelah menjalani renovasi besar-besaran, beberapa bulan yang lalu Toko Buku Gramedia Matraman Jakarta dinobatkan menjadi toko buku terbesar di Asia Tenggara. Peresmiannya pun tak main-main: oleh RI-1, SBY, yang kebetulan waktu itu memanfaatkan momentum yang sama untuk peluncuran bukunya.

Sayang, kemegahan, kelengkapan dan kenyamanan toko ini tidak ditunjang dengan fasilitas parkir yang memadai. Foto berikut diambil suatu sore pada weekend lalu dari atas jembatan penyebarangan tepat di depan Gramedia Matraman.

Klik untuk memperbesar. Perhatikan bahwa tinggal dua jalur yang tersisa untuk pengguna jalan.Jelas terlihat bahwa lebih dari separuh jalan raya diserobot menjadi tempat parkir kendaraan para pegunjung toko. Terlepas dari sudah adanya (atau belum?) perizinan dari instansi terkait untuk 'penyalahgunaan' jalan ini, pengguna jalan jelas-jelas terganggu. Penyempitan di Jalan Matraman Raya yang tergolong jalan utama ibukota tak pelak membuat lalu lintas tersendat.

Mustinya, pengelola toko lebih memperhatikan ketersediaan ruang parkir saat melakukan renovasinya. Seingat saya, sebelum diresmikan kembali pun, jalan di depan Gramedia sudah sering termakan luberan parkir terutama saat waktu-waktu ramai pengunjung (meski belum sebanyak sekarang). Hal ini diperparah dengan hobi para sopir angkot dan bis kota mengetem di sana.

Sungguh tak masuk akal, ketika mereka membidik gelar termegah, menyiapkan lahan parkir yang mencukupi saja tidak becus.

Oya, penuh sesaknya parkir di tempat parkir 'yang benar' (basement toko), mau tak mau mengganggu fasilitas inti yang lain: musola. Lokasi musola yang nyempil di pojok parkiran motor terasa semakin sumpek dengan makin berjejalnya motor di sana seiring peningkatan jumlah pengunjung.

Inilah potret ironis 'toko buku terbesar di Asia Tenggara yang diresmikan oleh orang nomor satu Indonesia': tempat parkirnya terlalu kecil. Akibatnya, ia terpaksa menyerobot sarana umum. Potret ironis yang juga menggambarkan praktek manajemen gedung yang terlalu ngirit, kalau tak mau dibilang pelit.