Tuesday, March 15, 2005

Tidak Ada Perundingan

Kita memang bodoh dalam urusan pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Kita memang koruptor dalam hampir segala hal. Tapi kita tidak menjajah negara lain, mencaplok teritori bangsa lain atau menjarah kekayaan negeri tetangga. Untuk hal-hal terakhir ini, justru kitalah yang sering jadi korban.

Apakah karena pohon mangga di halaman tetangga kita tidak terawat degan baik, lantas kita boleh memupuk dan memeliharanya untuk kemudian mengambil buahnya dan pada akhirnya memiliki pohon mangga itu? Berikut petak tanah di mana pohon itu tumbuh?

Malaysia coba melakukannya. Lagi. Tapi, sudah. Lupakan yang lalu-lalu. Lihatlah saja yang sekarang: Ambalat.

Aku selalu menaruh hormat pada mereka karena kemajuan yang begitu pesat di sana. They grow up fast. Ekonominya, pendidikannya, teknologinya, industrinya, wisatanya. Tapi yang jelas bukan mentalitasnya. Itu yang membuat hormatku meleleh.

Setelah beribu kasus TKI yang diperlakukan semena-mena di sana, mereka 'iseng' lagi mencuri-curi kesempatan untuk mencuri-curi. Bukan masalah seberapa banyak minyak atau gas di sana, atau sebagus apa potensi wisatanya, or how much bloody fish live there, tapi ini masalah kedaulatan. Anda tidak berhak mengeksplorasi wilayah orang lain tanpa izin, apalagi mencoba mengambil wilayah itu. That's it.

Mereka selalu bilang bahwa kita bersahabat, saudara, whatever. Tapi itu kalau sedang di depan kita saja. Di belakang mereka mengintip-intip kesempatan untuk mencuri, menyiksa para pekerja kita, mempekerjakan 'TKI ilegal' untuk kemudian tidak membayarkan gajinya, lalu menangkapinya dan mencambukinya seperti binatang. Ketika kebun-kebun sawitnya sudah hampir siap panen, kembali mereka bilang kita saudara, bahwa mereka memerlukan TKI untuk segera kembali. Kembali ke tempat mereka diperlakukan tidak manusiawi dan dibayar sedikit di atas upah budak?

Karena kita 'bersahabat baik', mari kita rundingkan masalah Ambalat dengan baik-baik pula. Apa yang harus dirundingkan, sahabatku? Seorang pencuri tertangkap ketika hendak mengambil sepeda motor di kampungku beberapa waktu lalu. Mereka tidak mengajaknya untuk berunding membahas apakah si pencuri boleh pergi atau harus minta maaf dulu atau malah boleh pergi dengan membawa sebuah ban dari motor yang hendak dicurinya. Tidak ada perundingan, sahabatku. Yang salah harus dihukum.

Sekarang katakan padaku, sekali lagi, apa yang hendak kita rundingkan?
Oh, and it's Indonesia, you b**tards, not 'Indon'!

(Sama seperti GAM. Bagaimana mungkin kita berunding dengan pemberontak? Di ujung dunia pula, berdingin-dingin di negeri seorang pemrakarsa yang entah seorang filantropis sejati atau pencari kesempatan, perhatian dan hadiah Nobel kelas wahid. Apa yang harus dirundingkan, saudaraku? Letakkan senjatamu dan berhentilah merajuk seperti anak serakah. Lihatlah saudara yang lain. Mereka setia. Bahwa merdeka adalah merdeka sebagai bangsa Indonesia, bukan sendiri-sendiri. Saudaraku, engkau seperti Malaysia. Serakah. Aku benar-benar takjub melihat kebandelanmu selepas peringatan dahsyat yang terjadi belum lama ini.)

4 comments:

eloque said...

People may agree or disagree with the idea, but no one can resist admitting that it was beautifully written. Man, u got the TALENT there! :)

Anonymous said...

Absolutely agree with your opinion here. Kadang saya juga gak habis pikir ama Malaysia, atau orang/pihak yang dengan berbagai alasan mengaburkan salah dan benar. Yang salah dibikin seolah-olah ada benarnya. Yang benar dibikin seolah-olah mengandung kesalahan. Kadang kita lupa, ada beberapa hal yang tampil fully opaque... hitam atau putih, tanpa gradasi!

Dukung dong, gerakan "Ambalat Belongs to Indonesia!" dengan memasang bannernya di blog Anda. Terima kasih, dan salam kenal. :)

dwiAgus said...

iyah, setuju banget kalau pelanggar batas ituh dihukum,..dihukumnya dengan hukum,... tapi hukumnya sendiri bilang bahwa garis batasnya itu sendiri harus didikusikan dan disetujui duabelah pihak, dan hukumnya bilang kalau penentuan sepihak itu gak bisa langsung digebukin, ... gemanah dong,... atau mau ke mahkamah internasional, biar kita gebukin di sana? berani gak yah?

Anonymous said...

hu uh, pasang aja banner "Ambalat Belongs to Indonesia!" seperti kata saudara BEE