Monday, February 27, 2006

Uang 'Ah'

Beberapa waktu lalu aku terlibat percakapan cukup serius tentang korupsi dengan seorang rekan kantor. Aku bercerita tentang beberapa teman dan kenalanku yang bekerja di instansi-instansi pemerintah yang cukup 'basah'. Tentu saja tidak kusebutkan nama. Selain takut terjebak ghibah & fitnah, percuma saja, rekan kantorku itu juga bakalan tak mengenal mereka.

Intinya, aku takjub dengan 'prestasi materiil' mereka yang luar biasa. Satu di antaranya, the younger one, sudah memiliki rumah sendiri plus mobil mulus tipe terbaru. And he hasn't been working for more than 4 years. Yang satunya lagi malah lebih hebat. Pria akhir 30-an ini rata-rata menangguk tak kurang dari 25 juta per bulan dari tugasnya sebagai petugas keuangan di suatu departemen. And he barely works more than 4 hours a day.

Kami sepakat untuk tidak berprasangka buruk bahwa mereka korupsi. Maksud kami tidak secara langsung - trust me, we WANT to believe that they are 100% corruption-free. Belakangan kami berkesimpulan bahwa mungkin ini ada kaitannya dengan apa yang aku istilahkan sebagai uang 'ah'.

Mengapa aku menyebutnya uang 'ah'? Perhatikan saja situasi ketika Bapak X atau Ibu Y dari Dinas Z disodori amplop berisi uang itu oleh rekanan bisnis, nasabah, customer atau sejenisnya:

"Aahh, nggak perlu repot-repot begitu." (sambil mendorong amplop menjauh)

"Nggak pa pa Pak/Bu, saya ikhlas kok."

"Aahh, jangan, ah." (masih mengisyaratkan menolak, tapi mulai melunak)

"Ayolah, anggap saja ini ucapan terima kasih dari saya dan sebagai tanda persahabatan kita."

"Aahh, saya jadi nggak enak nih." (mulai mengulurkan tangan pelan-pelan)

"Nah gitu dong Pak/Bu. Mohon jangan dilihat jumlahnya, yang penting ketulusan niat saya."

"Aahh, Anda ini memang baik sekali, terima kasih ya." (sambil menerima amplop lalu cepat-cepat memasukkanya ke laci meja atau saku)

Sering disahkan sebagai bentuk terima kasih atau hadiah, pemberian semacam ini harus disikapi dengan hati-hati karena 'keabu-abuannya'. Mau dibilang korupsi, nggak bisa, tapi mau dihukumi rezeki halal, kok sepertinya ada yang mengganjal (bagi sebagian orang sama sekali tidak mengganjal, tapi malah bikin lega, hahaha).

Untuk disebut 'tanda pertemanan/persahabatan' pun jelas diragukan karena saat Pak X atau Bu Y tak lagi menjabat, sang rekanan nggak bakal mau lagi 'berteman' dan akan memilih teman baru. Siapa lagi kalau bukan si pejabat pengganti.

Sepertinya kok aku merasa tetap ada yang tidak benar dengan uang ah ini. Kalau Anda sendiri bagaimana? Masih doyankah uang 'ah' ini? Dan bagi yang belum pernah menerima (seperti aku, hahaha), inginkah merasakannya?

No comments: