Thursday, April 06, 2006

Hadirnya Nisrina: The Cengkareng Escape

Selasa, 21 Maret 2006
17.30
Kami memeriksakan kandungan ke Dr. Winur di YPK Menteng. Seperti biasa, everything was okay. Kami bilang kami sudah putuskan untuk melahirkan di Jogja dan akan berangkat tanggal 30 (artinya kami masih bakal periksa sekali lagi ke Dr. Winur minggu depan). Cukup riskan memang, mengingat dokter mematok perkiraan lahir bayi kami tanggal 8 April. But I thought, "Hey, we'll have a 9-days spare, that sounds save enough. Semaju-majunya palingan 6-7 hari..." Itu pikirku lho, dan Dr. Winur pun manggut-manggut saja.

Rabu, 22 Maret 2006
10.00
Coba telpon travel sana-sini dan browsing internet. Tiket pesawat tanggal 30 ternyata mahal-mahal (maklum, long weekend).
18.00
Rembugan lagi dengan istri.
"De, gimana kalo kita naek kereta aja? Berani nggak? Kita bisa berhemat lumayan banyak lho."
"Hmmm, Ade nggak yakin, Mas. Tapi nggak pa pa deh asal kereta pagi ya, soalnya kalo malam aku kan sering mules-mules."
Entah kenapa istriku tampak ragu-ragu sekali.

Kamis, 23 Maret 2006
13.30
Aku ke stasiun beli dua tiket Argo Dwipangga untuk tanggal 30 Maret (keberangkatan jam 8 pagi dari Gambir). Sekalian tiket balikku lagi ke Jakarta tanggal 2 April.
18.00
Istriku baru saja dikunjungi sahabatnya. Dia nampak ceria. Pasti mereka ngbrol ngalor-ngidul berjam-jam tadi.
"Cucian masih numpuk, Mas, tadi Mbak Niken datang. Besok aja ya nyucinya."
"Iya tenang aja, De." Aku masih yakin besok pagi akan menjadi another usual day: aku berangkat kantor jam 6.30, sementara istriku membereskan pekerjaan rumah, dst.

Jumat, 24 Maret 2006
04.55
"Mas, Mas! Bangun! Kok Ade udah ada flek-flek gini ya. Perutku juga tambah sering nih kontraksi..." istriku nampak panik. Aku juga. Masa sih, maju 15 hari? Rencana kami untuk melahirkan di Jogja dan persiapan ortuku yang sudah cukup matang di sana terancam bubar jalan. Kacaunya, kami tak menyiapkan 'Plan B' alias tak ada persiapan sama sekali untuk kelahiran di Jakarta.
Segera setelah bangun dan solat kuputuskan untuk tidak masuk kantor. Kami harus periksa pagi ini juga. Aku kabari teman kantorku lalu kutelepon RS terdekat (RS Persahabatan Rawamangun) untuk menanyakan jadwal dsb. Istriku juga menghubungi bulikku di Jogja yang kebetuan seorang bidan untuk berkonsultasi. Selesai telepon, ia sudah nampak lebih tenang.
07.00
Aku masih sempat membereskan semua cucian kami. Sekitar jam 8, semua sudah kami jemur rapi dan kami segera bersiap ke RS Persahabatan. Karena istriku tadi sudah terlanjur mulas-mulas, dia tak sempat masak untuk sarapan. Beruntung ada tukang roti lewat.
08.20
Aku panggil bajaj yang mangkal 80 meter dari kontrakan. Bu Lies, pemilik paviliun yang kami kontrak, menyarankan untuk tidak ke RSP.
"Mending ke bidan saja. Di dekat sini. Di RSP pelayanannya sering jelek."
Ia menelpon bidan itu ntuk memberitahukan kami akan datang. Akhirnya kami pun memilih bidan itu. Hanya 7 menit perjalanan dan yang jelas tidak perlu antri.
08.40
Selesai memeriksa, bidan mengisyaratkan bahwa bayinya tak lama lagi bakal lahir. Tapi dia berani pastikan bahwa paling cepat adalah besok pagi, bukan hari ini. Kami pamit pulang. Di depan rumah bidan itu, sambil menunggu bajaj lewat kami sempat diskusi lagi.
"Ya sudah De, kalau memang harus lahir di sini, ya mau gimana lagi," kataku pasrah. Dalam hati aku bingung sekali tentang 'teknis pelaksanaannya' nanti. Kapan beli segala perlengkapannya, bagaimana memenej rumah, pekerjaan, dsb selama hari-hari istriku di RS?
"Kalau siang ini kita bisa naik pesawat ke Jogja, Ade berani Mas!
"Kamu yakin, De?"
"Ya! Feelingku anak kita baru bakal lahir besok pagi!"
"Ok!" Kami menyeberang jalan, lalu masih sempat pula membeli sarapan di warteg untuk dibawa pulang.
09.10
Istriku menyiapkan makan kami sedangkan aku sibuk menelepon Lion Air. It was our lucky day, kami bisa booking penerbangan jam 13.10. Hanya saja kami harus verifikasi pemesanan di bandara dua jam sebelum keberangkatan. That'll be 11.10! Only two bloody hours from now! Bagaimana kalau jalanan macet? What the heck, buru-buru aku memesan taksi Blue Bird. Aku minta dijemput jam 9.50, artinya masih ada setengah jam lebih bagi kami untuk menyiapkan semuanya.
Kami 'menyapu' makanan di piring secepat mungkin dan mengepak barang dengan pontang-panting. Entah bagaimana, aku juga masih sempat menelepon stasiun untuk memastikan bahwa tiket tanggal 30 kami bisa dibatalkan dari Jogja.
Kami juga amankan semua piranti listrik dan minta tolong Bu Lies untuk memasukkan jemuran nanti sore.
09.55
Taksi sudah siap di depan halaman. Kami pamit ke Jogja. Bu Lies tampak bingung, dia pasti heran melihat kenekatan kami. Di dalam taksi aku mencoba mengendorkan ketegangan dengan bercanda bersama Pak Bambang, wong asli Klaten yang mengantarkan kami.
"Nanti kalo kepepet, kita nggak jadi ke Cengkareng lho, Pak, tapi langsung belok ke rumah sakit."
"Tenang aja, Mas," jawabnya tersenyum. Ia nampak 'cool' banget, tidak seperti tukang bajaj kami waktu mau ke bidan tadi, yang sedikit tertular kepanikan kami.
10.55
Kami tiba di Terminal A. Yes, it was still our lucky day. Lalu lintas lancar dan kami bisa membereskan tiket kami pada waktunya. Saat cek in, petugas di pintu masuk memperingatkan kami.
"Wah, hamil tua ya Mbak? Nanti harus periksa dokter dulu ya. Tinggal jalan kaki kok, di sini ada kliniknya. Biar ketahuan, boleh terbang atau tidak," katanya.
Apa?? Teriakku dalam hati. Bagaimana kalau tidak boleh? Bakalan kacau balau skenario ini. Kenapa sih mesti periksa segala? Lagian my wife is a doctor herself.
"Ah, nggak harus gitu, bilang saja baru tujuh bulan," kata petugas yang satunya. Lho, piye tho iki? But I like this guy better.
Dengan harap-harap cemas kami membayar pajak bandara dan memasukkan tas bagasi. Ternyata kami lolos. Petugasnya cuek saja. Kemudian kami duduk di kursi tunggu, bersiap terjebak dalam penantian panjang 1.5 jam ke depan. Semoga saja istriku nggak sering kontraksi.
11.45
Istriku mengenali seseorang yang berjalan dengan cepat melewati kami.
"Mas, itu kan Gusnawan! Cepetan dikejar sana."
Aku nggak yakin itu benar teman SMU kami, tapi kukejar juga dia. Aku setengah berlari hingga berada di depannya. Saat melihatku, dia langsung tersenyum.
"Lhooo, kowe tho, Ndan!"
Aku 'seret' dia ke tempat duduk kami. Dan kami pun mengobol seru. Lama sekali tak bersua. Kebetulan ia sepesawat dengan kami. Dengan adanya Si Gussy, rasa tegang dan panik jauh berkurang, atau tepatnya terlupakan.
12.45
Kami masuk area boarding. Lagi-lagi petugas meloloskan kami. Kemudian kami duduk lagi, menunggu di sana.
"Untung ada kamu, Gus. Nanti kalau Wiwik kenapa-napa di pesawat, kan kami not alone," guyonku.
"Wadhuh, jangan ada apa-apa dong," Gusnawan terkekeh bercampur khawatir.
"Awas kalo kamu nanti pura-pura nggak kenal!" ancamku.
13.25
Setelah jadwalnya molor, akhirnya kami naik juga. Tinggal satu halangan lagi, batinku, pramugari! Tapi ya masa kami disuruh turun?
Benar, saat melihat istriku, ia segera bertanya,
"Sudah punya surat keterangan dokternya, Pak?"
"Lho, tadi nggak disuruh bikin," jawabku dengan tampang polos, "katanya kalau baru tujuh bulan nggak perlu bikin?" tanyaku balik, kali ini dengan dibumbui kebohongan.
"Ya sudah, silakan duduk. Tapi nanti saya persilakan tanda tangan surat pernyataan, ya."
13.40
Pesawat take-off. Beberapa menit kemudian pramugari tadi memberikan surat yang harus kami tanda tangani. Intinya, kami tak akan menuntut pihak airlines bila terjadi apa-apa selama perjalanan. Kami tanggung resiko kami sendiri. Ya memang. Wong memang kami kok yang nekat. We signed it off right away.
14.30
Kami mendarat di Adisucipto. Alhamdulilah. Akhirnya kami menjejakkan kaki di Jogja. Home sweet home. Saat masuk ke taksi menuju rumah ortuku, rasa panik dan tegangku benar-benar sudah menguap! Aku sudah lega seolah bayiku sudah lahir. It was indeed a lucky day!
15.10
Tiba di rumah. Sepanjang sore kami bersantai. Anehnya, istriku sudah tak terlalu sering mulas lagi.
"Bayi kita jadi anteng nih, Mas, kayaknya emang dia cuma pengen naik pesawat aja, hahaha," candanya. Aku merasa memang mungkin baru hari Minggunya dia bakal lahir.
18.30
Aku menyempatkan diri ke Stasiun Tugu untuk 'menguangkan' tiket kami (lumayan, meski dipotong 25%). Lalu aku membeli beberapa keperluan lain yang terlewatkan ortuku - inilah enaknya di Jogja, aku bisa lincah bermotor ke mana-mana. Masih sempat juga mampir ke warnet untuk mengimel bosku memberitahukan keberadaanku dan rencana cuti seminggu ke depan. Dia hampir selalu masuk kantor hari Sabtu, jadi aku yakin dia akan membaca imelku ini keesokan paginya.
21.00
Wuihh, capek juga. Namun secara mental, kondisi kami sudah jauh lebih tenang. Kami bersiap tidur.
Baru mau memejamkan mata, istriku mulai kontraksi lagi. Akhirnya kami nggak bisa istrirahat juga. Dia ingin segera ke RS.

Sabtu, 25 Maret 2006
01.20
Setelah kontraksi semakin sering, sekitar 6-7 menit sekali, aku telepon taksi dan kami pun berangkat ke RS PKU Muhammadiyah yang berjarak 4 km dari rumahku. Dini hari itu perjalanan kami tak sampai 10 menit.
01.35
Istriku masuk ke ruang bersalin.
02.00
Aku dipanggil masuk dan lalu menemani dia di sampingnya. Kata bidan yang bertugas, istriku sudah 'bukaan 2'.
05.30
Kontraksi istriku makin sering, ia makin sering pula kesakitan. Setiap kesakitan, dia selalu mencari tanganku untuk diremasnya. Bidan memeriksa lagi. Ternyata baru 'bukaan 3'. OMG, bakalan lama nih. Aku saja yang hanya menunggui sudah mulai loyo, bagaimana dengan istriku? Sungguh tak terbayangkan beratnya. Padahal ia masih harus mengumpulkan tenaga untuk persalinan. Bisa-bisa tengah hari nanti anak kami baru lahir. Kami bersiap untuk penantian yang melelahkan.
07.00
Istriku mulai kesulitan menahan untuk tidak mengejan. Sebelum bukaannya sempurna, si ibu belum boleh mengejan untuk menghindari bengkak yang akhirnya menutup lagi bukaan yang sudah ada. Bidan memeriksa lagi.
"Wah, sudah bukaan 9!" serunya. Cepat sekali progress-nya! Mendengar itu, semua rasa capek dan ngantukku langsung hilang berganti semangat '45! Mereka segera memanggil Dr. Anisah, sesuai permintaan kami.
07.45
Dr. Anisah masuk ruangan dan segera memulai segala 'prosedurnya'. Aku informasikan ke dia bahwa hasil USG minggu ke-34 memperlihatkan adanya lilitan tali pusat di leher janin kami.
"Ah, nggak pa pa, malah nanti jadi semakin cantik," jawab Dr. Anisah.
08.09
Setelah sekian menit istriku berjihad merengang nyawa, bayi kami lahir juga! Lilitan tali pusatnya ternyata sudah lepas!
"Mana, nggak ada lilitannya gini kok," kata dokter meledekku. Kami lega, ternyata ia bisa berkelit sendiri di dalam. Inilah keajaiban itu. Bukti kebesaran Allah. Kutatap bayi yang masih belepotan darah itu Dalam tangisannya, ia sempat mencoba meraih sebuah alat yang dipegang salah satu bidan.
"Eee, nggak usah ikut membantu ya," canda bidan itu. Kami semakin lega, bayi kami jelas tampak aktif dan sehat.
08.20
Sementara dokter membereskan urusan jahitan istriku dan tetek bengeknya, aku menyaksikan bayiku dibersihkan dan diberi pakaian. Kemudian aku adzani dia dan kuambil beberapa foto. Ini salah satunya:

Tak lama kemudian aku mengabari keluarga besar kami. The rest was history.

Hadirnya Nisrina sungguh menjadi thriller bagi kami. Meleset tepat dua minggu (maju) dari perkiraan dokter sebelumnya sungguh di luar dugaan dan persiapanku. Pfffh, I'm glad it all went okay. And I think it deserves to be told here, as the longest ever post in my blog (I hope you didn't fall asleep while reading it :-p ).