...sambungan dari sini
Setelah perjuangan yang tidak mudah, sekitar Maghrib, sampai juga aku di mess tamu yang terletak dalam kompleks pabrik pupuk itu. Beberapa wajah familiar, yakni teman-teman seperjuangan di kampus, segera menyambut. Di samping, tentunya, seratusan wajah lain yang belum kukenal.
Herannya, saat mengecek telepon genggam, ada missed call dari kantor tempatku tadi diwawancarai. Hmmm, secepat itukah mereka memutuskan? Oya, gilanya, aku baru tahu 'gambaran' jenis usaha kantor itu setelah di-interview. Itupun masih gambaran nggrambyang: engineering company di bidang migas - whatever that is.
Herannya, saat mengecek telepon genggam, ada missed call dari kantor tempatku tadi diwawancarai. Hmmm, secepat itukah mereka memutuskan? Oya, gilanya, aku baru tahu 'gambaran' jenis usaha kantor itu setelah di-interview. Itupun masih gambaran nggrambyang: engineering company di bidang migas - whatever that is.
Paginya, di sela-sela jadwal berbagai tes yang harus kali lalui (tertulis, wawancara, bahkan fisik), aku segera mengecek. Dan benar, mereka meloloskanku ke tahap medical check-up (MCU), yang konon kata banyak orang sekedar 'formalitas' saja kecuali kandidat mengidap sakit berat.
Sempat terjadi dilema juga, bagaimana ya kalau nanti di pabrik pupuk ini aku lolos juga? Ini murni karena ketidaktahuanku tentang prospek kerja di sebuah engineering company. Ditambah lagi, idealisme bahwa Sarjana Teknik Kimia ya seharusnya menerapkan ilmunya di pabrik kimia masih kental meliputi benakku.
Tapi seperti sudah digariskan, pilihanku jadi sangat mudah karena aku gagal di seleksi pabrik pupuk. Sebaliknya, aku dinyatakan lolos dari MCU oleh si engineering company itu dan ditawari gaji hampir satu setengah kali lipat apa yang kuancar-ancarkan saat wawancara - dan lebih dari dua kali lipat dari entry level salary di pabrik pupuk 'idaman' tadi. Deal or no deal? It was a no brainer: DEAL!
Guess what, di perusahaan engineering itu ternyata aku hepi - pekerjaan cocok, rekan-rekan kantor sangat friendly dan suasana kerja tidak membuat stres. Kantor itu jugalah yang akhirnya menjadi tempatku mencari nafkah sampai akhirnya aku menikah dan dianugerahi seorang putri.
Days go by, tak terasa sudah dua tahun lebih aku 'belajar' di sana. Ada mitos di perusahaan engineering bahwa seorang engineer sudah dinyatakan 'lulus' saat ia diminati oleh dan lalu pindah ke 'klien'. Klien di sini adalah oil and gas company - yang notabene memakai jasa perusahaan engineering dalam proyek-proyeknya. Benar saja, tak sampai dua hari setelah aku mengakikahkan anakku, ada informasi dari seorang 'alumni' kantorku yang sudah duluan 'lulus' bahwa dia sedang mencari seorang junior process engineer. Setelah CV-ku terbang ke sana, sore hari itu juga recruiter segera meneleponku untuk menjadwalkan tes wawancara - di sinilah aku menjadi yakin bahwa istilah 'rezeki anak' itu sama sekali bukan omong kosong.
Setelah melalui berkali-kali wawancara dalam kurun waktu hampir tiga bulan - coba tebak berapa interview yang harus kujalani - akhirnya tawaran gaji kuterima dan resmilah aku 'lulus'. Mau mengecek tebakannya? Believe it or not, aku diwawancarai oleh sebelas orang berbeda dalam sembilan sesi - dua sesi di antaranya di Balikpapan! Hahaha, kebalikan dari kantor sebelumnya, di sini ternyata keputusan merekrut orang bisa amat sangat berbelit.
September 2006 menjadi lembaran baru kehidupanku. Aku kini bekerja di sebuah perusahaan eksplorasi dan produksi migas yang sumber gasnya (minyaknya tinggal sedikit sekali) terkonsentrasi di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Alhamdulilah, dari sisi kesejahteraan dan pengembangan karyawan, perusahaanku kini jauh lebih baik dari yang pertama.
Refleksiku berakhir di sini. Saat aku meretas jalan ke 'pabrik kimia yang ideal', ternyata Tuhan mempertemukanku dengan jalur yang lain. Is this what they call serendipity?
2 comments:
Ya..ya!!
GUe percaya lho ama "rejeki anak".
Gue yakin kepindahan gue ke Jakarta juga terkait dengan itu..
ngono yo ndan... aku sampe saiki masih berpikir aku sedang hidup di kolam yang salah :(
Post a Comment